BENI EKA PUTRA,S.H. SEORANG PEMUDA ASLI MINANG KABAU BERKARIR DIDUNIA PRAKTISI HUKUM

Thursday, August 24, 2017

KELOMPOK SARACEN DAN HUKUM

Bisnis menyebar HOAX dan SARA dari kelompok SARACEN

Jejaring Sosial muncul atas dasar ide untuk menghubungkan orang-orang dari seluruh belahan dunia. Kehadiran jejaring sosial diawali dengan munculnya Sixdegrees.com pada tahun 1997 sebagai situs jejaring sosial pertama di dunia.Tahun 1999 dan 2000 muncul situs jejaring sosial bernama lunarstorm, live journal, dan cyword dengan sistem informasi searah. Pada tahun 2010 Sampai tahun 2017 munculah Friendster, Facebook, twitter , instagram, path dan media jejaring sosial lainya. Pemanfaatan kemajuan teknologi tersebut sepenuhnya bergantung kepada kita sang operator pemilik teknologi. kbisa untuk menunjang kesejahteraan, atau justru bisa digunakan untuk menghancurkan kehidupan sosial di semua lini.
Dalam UU ITE diatur mengenai konten yang dilarang, yakni dokumen elektronik tidak boleh memuat sesuatu yang melanggar kesusilaan, berisikan perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, kebohongan, pelanggaran terhadap suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA), dan juga pelanggaran terhadap privasi. Di Indonesia sendiri, aktivitas dalam dunia perkomunikasian dan informatika dipayungi oleh beberapa undang-undang, antara lain UU No. 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronika, dan UU No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi. Masing-masing UU ini mengatur setiap bidang komunikasi di Indonesia dan jika diperhatikan, UU ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Sebut saja kelompok Saracen yang belum lama ini ditangkap oleh Penyidik Bareskrim Polri antara tanggal 21 Juli s/d 7 Agustus 2017 di berbagai tempat, yaitu Jakarta, Cianjur dan Pekanbaru, dengan tersangka 3 orang yg berusia antara 30 s/d 55 th. Kelompok ini memiliki organisasi yang cukup rapi, berstrategi dalam melakukan ujaran kebencian berkonten SARA dan diduga telah bekerja sejak tahun 2015. dampak yang ditimbulkan kelompok ini sangat diniati baik oleh perancang, para penyedia jasa yang berwujud organisasi perusak tatanan sosial yang sudah rapi. Selain itu, juga oleh pemegang dana maupun para para operator. Tujuannya untuk menciptakan ketidakpercayaan horizontal maupun vertikal.
Mereka sama sekali mengacuhkan aturan (Hukum) dan etika yg baik dalam bermedia sosial khususnya ketika menyusun kata-kata, kalimat, maupun gambar, sehingga berpotensi merusak hubungan sosial kemanusian di Indonesia. Mereka memiliki akal, tanpa budi pekerti, sehingga hasil akalnya disalahgunakan. tentu Cara-cara yang negatif di dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di media sosial harus kita hindarkan dan kita jauhkan agar tidak mau bermasalah dengan HUkum.

Jakarta 24 Agustus 2017
Beni Eka Putra, S.H

Sunday, February 5, 2017

HMI DITENGAH DINAMIKA BANGSA

Oleh: Beni Eka Putra Koto, S.H
(Kader HmI Cabang Bandung Komisariat Hukum Universitas Pasundan)

MILAD HMI KE - 70


Pergulatan agama, sosial, politik, ekonomi, dan budaya di bangsa ini merupakan sejarah panjang yang mempunyai catatan tersendiri sejak proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945. Semua rentetan dinamika yang terjadi bagi bangsa ini tidak lepas dari kiprah HMI dengan sikap kritisnya yang kreatif dan inovatif. Hal itu merupakan kelebihan tersendiri bagi HMI sebagai organisasi Mahasiswa Islam terbesar di negeri ini. Sifat independensi yang melekat pada organisasi sebagai kelompok intelegensia dengan gagasan dan ide-idenya yang cemerlang dapat merespon dan memberikan solusi terhadap persoalan keumatan dan kebangsaan. Kondisi itu mengundang perhatian dari banyak pihak sebagai gerakan Islam yang melampaui zamannya baik dalam kontribusi pemikiran dalam menciptakan peradaban baru Islam yang egalitarian (Yudi Latief: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia). Dari sinilah banyak ilmuwan, agamawan, intelektual, baik dalam negeri maupun luar negeri terpanggil untuk mengkaji dan meneliti dengan pendekatan akademik-ilmiah sebagai bentuk apresiasi atas prestasi dan kekuatan baru Islam yang berbasis di kampus. Karena HMI merupakan tempat pergumulan para cendikiawan yang mampu menawarkan semangat pemikiran Islam yang akomodatif dan egalitarian dengan format nalar baru ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang sinergis.
Kini 70 tahun telah dijalani HMI sejak dideklarasikan 5 Februari 1947 sebagai sebuah keharusan untuk menyelesaikan persoalan umat dan bangsa. Dari awal berdirinya HMI telah dihadapkan dengan persoalan umat dan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Fase demi fase terus dilalui dengan kekuatan dan spirit intelektualitasnya. Dalam perjalanan waktu yang diiringi dengan beragam masalah, HMI mampu berjuang dengan kerja keras untuk menyelesaikan bahkan selalu menjadi pioner dan pelopor gerakan pembaharuan bangsa.
Tapi setelah pasca reformasi, gagasan dan spirit perjuangannya hilang dimakan zaman. HMI mengalami pergeseran nilai dan tidak mampu menunjukkan gerakan independensinya sebagai sebuah organisasi pembela mustad’afin yang berdiri di atas kebenaran. Dari kondisi demikian, proses perkaderan selama 19 tahun terakhir telah gagal menyiapkan pemimpin masa depan yang mempunyai krakter pemimpin religius-modernis harapan masyarakat Indonesia.
Fakta di atas menunjukkan bahwa gerakan reformasi adalah gerakan yang gagal. Karena barometer keberhasilan sebuah gerakan adalah mampu memperbaharui tatanan lama yang rusak dan menghukum orang yang terlibat di dalamnya, serta mengganti dengan sebuah sistem modern. Kegagalan reformasi disebabkan beberapa faktor; Pertama, gerakan reformasi itu dibangun secara elitis. Dikatakan elitis karena yang melakukan gerakan dan yang mengerti betul alasan gerakan reformasi perlu dilakukan hanya segelintir orang. Karena sifat elitis inilah, gerakan ini kurang bisa melakukan sharing power kesadaran. Sehingga pesan reformasi kurang bisa ditangkap dan dimanifestasikan oleh rakyat yang menghendaki terbentuknya masyarakat madani (civil society).
Kedua, gerakan reformasi hanya berhasil meruntuhkan orde baru tetapi gagal melahirkan kepemimpinan reformis. Hal tersebut terjadi karena tokoh pro reformasi yang berhasil masuk dalam pemerintahan tidak mampu mencarikan solusi dalam membangun kepemimpinan yang reformis. Mereka terjebak dalam ranah self interest (kepentingan pribadi), golongan, dan partai masing-masing.
Ketiga, pasca runtuhnya orde baru, tokoh-tokoh OKP tidak lagi membangun kebersamaan untuk kembali bergerak secara massif dalam mengawal agenda reformasi selanjutnya. Hal ini semakin kritis dan ironi dengan adanya aktifis reformasi yang pada saat reformasi bergulir mereka berteriak lantang dan mendesak pembubaran Golkar karena dianggap sebagai representasi orde baru yang korup. Tapi, justru pada pemilu 2004,2009&2014 mereka membangun patron dengan kekuatan orde baru tersebut. Hal inilah yang menyebabkan faktor terbentuknya sentimen politik di ranah OKP dan seringkali menyebabkan munculnya gerakan yang agitatif -konfrontatif.
Kegagalan reformasi tidak hanya terfragmentasinya gerakan mahasiswa tapi yang lebih na’if, bangsa semakin tidak punya identitas diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran merupakan bagian persoalan bangsa yang terus tidak pernah terselesaikan tapi justru bertambah parah.
Melalui refleksi 70 tahun kita perlu memahami dan memikirkan serta mengoreksi kembali pada diri HMI bukan tentang lama waktu yang dijalani melainkan kontribusi apa yang telah diberikan untuk umat dan bangsa ini. Sebagai organisasi yang mempunyai visi dengan narasi keumatan dan kebangsaan, ada tiga fokus utama yang mendesak untuk dilakukan yaitu problem global, nasional, dan internal dirinya sendiri. Tiga narasi problem tersebut dengan variabel-variabelnya harus dicari format solusinya. HMI sebagai organisasi dengan berjuta-juta kader yang merata dengan infrastruktur yang tertata dengan baik di seluruh nusantara memiliki jaringan kelembagaan yang massif baik pada domain internal maupun eksternal yang siap menjadi pelopor utama kerja-kerja institusi dan memperdayakan masyarakat. Selain itu jaringan kerja yang pernah dibangun oleh HMI harus diperkuat kembali baik dengan organisasi pemerintah maupun swasta, baik di skala nasional maupun internasional.
HMI sebagai bagian dari nation state yang mempunyai sejarah tersendiri dengan kiprahnya dalam building state, seharusnya menata diri guna menunjukkan kembali kesejarahan dengan bingkai visi kebangsaan dan keumatan yang pernah digagas dan menuai prestasi. Refleksi historis ini selayaknya menjadi bangunan motivasi sekaligus spirit sebagai organisasi pemersatu umat dan bangsa.
Untuk merumuskan persoalan yang merusak karakter dan identitas HMI ada tiga indikasi sebagai agenda mendesak untuk dilakukan. Tiga agenda mendesak tersebut ada dalam bangunan piramida ideologi (NDP) HMI. Piramida pertama, I’tiqadiyah (ideologisasi), sebuah ideologi merupakan fondasi dalam membangun dan mewujudkan visi dan misi suatu gerakan, ia selalu menjadi penggerak pola pikir dan jiwanya dalam segala dimensi hidupnya. Tatkala terjadi pergeseran nilai-nilai ideologi, maka gerakannya akan mengalami disorientasi yang akan mengantarkan kepada hal-hal yang sifatnya patalogis baik secara individu maupun sosial. Platform yang dibentuk adalah turunan dari gagasan ideologisnya. Arah perjuangan organisasi ditentukan oleh ideologi yang dirumuskan. Maka, jika dalam sebuah organisasi tidak mempunyai pegangan ideologis, berarti mengalami kekaburan identitas dan orientasinya. Ideologi sebagai sebuah ruh merupakan aspek paling fundamental untuk menentukan arah perjuangan organisasi. Ali Syariati menyatakan, ideologi merupakan karakteristik suatu kelas khusus dalam masyarakat yang disebut Rous al-Fikr. Rous al-Fikr adalah orang yang berpegang teguh pada ideologi yang telah dipilih secara sadar. Ideologi dan kesadaran itulah yang akan menolongnya mencapai kesadaran istimewa tentang kehidupan sebagai jalan hidup dan jalan berpikir yang membentuk falsafah hidupnya. Hal ini akan membentuk kesadaran kader HMI, untuk siap sedia berkorban segala-galanya untuk mengabdikan dirinya demi cita-cita ideologinya. (Ali Syariati: Tugas Cendikiawan Muslim).
HMI sebagai organisasi Mahasiswa yang bergerak di atas landasan ideologisnya, telah berhasil menorehkan prestasi yang dicita-citakan. Prestasi tersebut diraih bukan hanya dengan kerja keras tapi juga disertai nilai-nilai ideologisnya yang menjadi cahaya terang dalam gerak langkahnya. Sifat independen HMI beserta ideologi yang dibangun telah terbukti menyelesaikan persoalan umat dan bangsa karena bangunan ideologisnya menempatkan kebenaran di atas segala-galanya. Pada akhirnya apapun yang dilakukan dengan memahami nilai-nilai ideologisnya menghasilkan sebuah pemikiran konprehensif yang melampaui zamannya. Dari hasil pemikirannya itu, kebekuan pemikiran terutama pemikiran Islam telah mengalami kemajuan yang pesat. Sedangkan inspirasi pemikiran yang menjadi rujukan gerakan intelektual Islam sekarang merupakan pengejawantahan dari prinsip-prinsip yang pernah dirumuskan oleh HMI kemudian dikontekskan dengan situasi kekinian.
Piramida yang kedua, adalah Takwin al-Jiil (kaderisasi). Kaderisasi akan berjalan secara dinamis ketika pemahaman yang konprehensif terhadap ideologinya telah menjiwai pada sebuah organisasi. HMI merupakan tempat transit dalam menempa ilmu dan berkader diri. HMI telah sukses menjadi tempat berkader dan menempa diri untuk menjadi organisasi kemahasiswaan yang mampu menghasilkan kader-kader berkualitas yang akan diproyeksikan menjadi pemimpin masa depan bangsa. Kaderisasi sebagai sebuah pilihan di tengah krisis kepemimpinan nasional, harus dilakukan secara maksimal demi tujuan HMI untuk mencetak kader umat dan bangsa yang akan terus melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik. HMI telah merumuskan format perkaderan yang baik, namun dari sisi implementasinya, tidak berjalan sebagaimana format yang telah dirumuskan. Hal itu diakibatkan oleh lemahnya proses kaderisasi sebagai bentuk transformasi keilmuan dan manajerial. Kegagalan kaderisasi merupakan kegagalan doktrinisasi ideologi HMI yang tidak mengakar dan menjiwai dalam diri kader HMI. yang menyebabkan jalannya tersendat-tersendat dan tidak seimbang.
Piramida yang ketiga, Taujiihu al-Jiil (orientasi kader) HMI, kader HMI yang telah lulus seleksi sejarah sebagai kader umat dan bangsa baik dari segi pemahaman terhadap ideologinya maupun dalam proses kaderisasinya yang matang pada akhirnya ia merupakan pejuang ideologi. Seseorang yang berkader di HMI secara otomatis siap berjuang untuk merealisasikan ideologi. Dalam pengertian lain, ber-HMI berarti siap bekerja keras secara ikhlas di atas filosofi hidup untuk HMI bukan hidup dari HMI.
Dalam 19 tahun terakhir, HMI telah mengalami pergeseran pradigma. Fenomena yang menyebabkan HMI tidak lagi mampu mempersiapkan kadernya sebagai pemimpin masa depan dikarenakan dalam diri mereka terbentuk mainstream dan pola pikir serta filosofi hidup dari HMI bukan hidup untuk HMI. Maka kader HMI sebagai pejuang ideologi atau gagasan yang melekat dalam jiwanya akan berimplementasi untuk kepentingan pribadi. Jika principle of People di HMI seperti ini, bisa dipastikan orientasi kader HMI pragmatis dan oportunis. HMI akan dijadikan wadah profesi untuk kepentingan pribadi bukan dijadikan wadah untuk menempa dan berkader diri yang semata-mata untuk mengabdikan diri kepada umat dan bangsa. Prinsip inilah yang telah hilang dalam diri dan jiwa kader, yang merupakan letak kesalehan sosial kader HMI.
Dari piramida ideologi HMI NDP (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan) dalam bahasa Cak Nur disederhanakan menjadi iman, ilmu, dan amal. Sedangkan dalam bahasa penulis disederhanakan lagi dengan bahasa ideologisasi, kaderisasi, dan orientasi. Dengan demikian, tiga piramida itu harus menjadi kesatuan yang utuh dalam diri kader yang tidak bisa dipisahkan. Piramida tersebut mempunyai nilai-nilai Islam esensial yang substantif-integratif atas semangat ke-Indonesiaan dan Ke-Islaman. Kegagalan HMI sepuluh tahun terakhir tidak lain ditengarai karena HMI tidak mampu memberikan pencerahan pada kader-kadernya lewat pemahaman tiga entitas ideologi yang ada dalam bangunan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI.
Penulis yakin dengan momentum ini di tengah arus globalisasi, krisis multi dimensi bangsa dan gencar-gencarnya perang ideologi abad 21, HMI harus mampu melakukan filterisasi sekaligus penetrasi terhadap bahaya-bahaya tersebut yang akan mengancam keutuhan dan persatuan NKRI. Tentunya melalui pemahaman yang sempurna terhadap piramida ideologi HMI yang berdasarkan semangat ke-Islaman dan ke-Indonesiaan akan melahirkan sinkronisasi antara idealitas dan realitas yang akan menggiring pada peradaban baru yang relevan dengan zamannya (think rightly, act rightly). Internalisasi, eksternalisasi dan objektifikasi nilai-nilai dasar perjuangan sebuah keharusan untuk dilakukan demi dinamisasi organisasi. Karena kebangkitan HMI adalah kebangkitan Indonesia, Selamat Ulang Tahun! Bahagia HMI! YAKIN USAHA SAMPAI!

Tuesday, April 5, 2016

UNPAS MENUJU NASIONAL KOMPETISI DEBAT HUKUM DAN KONSTITUSI



Dua tahun sudah fakum dalam dunia Kompetsisi Debat Hukum Konstitusi yang diadakan oleh Mahkamah Konstitusi, alhamdulillah usaha saya membangun kembali dan melahirkan Debater debater baru berbuah manis. UNPAS Lolos di babak I, babak seleksi Karya tulis Ilmiah antar semua Perguruan tinggi se-Indonesia. dengan tema Presidential Treshold dalam pemilu 2019. Lanjut babak ke II Regional barat dengan tuan rumah Universitas Batam. semoga mrnang dan bisa melaju kebabak Nasional ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. tahun 2013 yang lalu saya dengan team yang lainya bisa melaju ke Nasional dengan posisi 8 Besar satu satunya kampus swasta masuk sepuluh besar di Kompetisi tingkat Nasional. Mohon dukungan dan doa dari semua mahasiswa, dan masyrakat Unpas lainya, untuk adik adik kita bisa melaju juga tingkat nasional membawa nama almamater.


http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/design2016/img/slider/Pengumuman%20Tahap%20Eliminasi%20Debat%20Konstitusi%2020160001.pdf


Sunday, August 16, 2015

MERDEKA BUKAN KENAGAN, TAPI MERDEKA ADALAH HARAPAN YANG HARUS DIPERJUANGKAN

Beni Eka Putra
Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Pasundan Bandung.

MERDEKA!!!
Bukan hanya sebatas kata yang sekedar kebiasaan diucapkan, Merdeka merupakan suatu harapan, keinginan, cita cita dan tujuan dari setiap manusia. Maju pemuda pemudi, bangun pemuda pemuda, para pendahulu telah berjuang sampai akhir hayat, untuk bisa lepas dari keterpuruka,  dari ketertindasan, dari keterbelakangan, dari perbudakan, dan dari jajahan Fisik. Sehingga dengan rasa keteetekanan dan penderitaan yang sama, pada akhirnya pemuda pemuda, mahasiswa, rakyat dan semua elemen masyarakat bersatu padu untuk MERDEKA. sehingga dibentuklah suatu Negara yang disebut INDONESIA. Dengan merumuskan Tujuan Negara yg tertuang dalam Konstitusi Negara,  Naskah Dasar Negara yang disebut UUD 45. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial …”.
Dari rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan nasional/Negara yang ingin dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara, yaitu:
a.Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b.Memajukan kesejahteraan umum;
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
d.Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.

Dari uraian dalam Pembukaan UUD 45 tentang tujuan dari Negara Indonesia diatas, menimbulkan suatu pertanyaan. SUDAHKAH TERCAPAI TUJUAN NEGARA INDONESIA???. 17 Agustus bukan hanya sekedar momentum yg dijadikan sebuah kebiasaan yang selama ini rutin dilakukan dalam bentuk Upacara bendera, perlombaan perlombaan. Tapi seharusnya kebiasaan kebiasaan di tgl 17 agustus ini justru menjadi sebuah renungan kita Rakyat Indonesia bersama. Merefleksi kembali arti dari kata MERDEKA yg sesungguhnya, jika kita masih mengakui dan meyakini UUD 45 merupakan KONSTITUSI negara kita, yang memuat tujuan dari Negara. Sehingga arti dari sebuah perjuangan mencapai Tujuan negara benar benar menjadi Poin utama yang harus diperjuangkan...Hidup Indonesia,  Bangkitlah pemuda pemudi harapan bangsa,  bergerak dan berjuang lah para Mahasiswa,  dan bersatu padulah merebut Demokrasi... 

Sunday, March 8, 2015

KELEMBAGAAN UNPAS MENUJU STUDENT GOVERNENCE

Membingkai Student Governence

Tahun 1998 ketika mulai lahirnya bayi bernama Reformasi dan demokrasi, mahasiswa mengadakan kongres akbar mahasiswa di puncak. Yang menghasilkan keputusan bahwa mahasiswa di hampir setiap kampus akan membentuk Badan Eksekutif Mahasiswa yang selanjutnya disebut BEM atau Dewan Eksekutif Mahasiswa yang selanjutnya disebut DEMA. Selain itu dibentuk juga Dewan Perwakilan Mahasiswa yang selanjutnya disebut DPM atau Senat Mahasiswa yang selanjutnya disebut SEMA. Kalau BEM/DEMA adalah lembaga eksekutif mahasiswa, maka DPM atau SEMA adalah lembaga legislatifnya. Dengan kata lain kampus dijadikan sebagai miniatur pemerintahan sebuah negara.
Lembaga kemahasiswaan di kampus adalah lembaga yang sangat penting dan kontributif dalam proses pematangan berpikir dan bertindak seorang mahasiswa. Banyak keterampilan sosial dan politik yang sangat penting yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan diri (sehingga lebih berpeluang untuk sukses) justru dikembangkan di lembaga-lembaga kemahasiswaan, ketimbang di ruang kuliah. Orientasi ideologis dan politik seseorang bahkan lebih mungkin untuk dibentuk di luar ruang kuliah, khususnya di lembaga-lembaga kemahasiswaan itu.
Kita tentunya sudah memahami bahwasannya mahasiswa adalah iron stock generasi bangsa ini. Maka mahasiswa harus memperkaya diri salah satunya ilmu pemerintahan. Melalui Lembaga Kemahasiswaan-lah mahasiswa dapat mempersiapkan diri untuk memimpin negeri ini ke arah yang lebih baik. Dalam perkembangannya pemerintahan mahasiswa harus selalu memperbaiki diri seperti halnya pemerintahan negara. Pemerintahan mahasiswa pun tidak sepenuhnya berjalan sesuai idealism mahasiswa. Masih perlu syarat-syarat untuk bisa disebut sebagai pemerintahan mahasiswa yang baik.
Perlu sebuah konsep pemerintahan mahasiswa, dimana mahasiswa dapat belajar bagaimana memimpin sebuah negara yang heterogen dengan menjunjung tinggi idealisme gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral dan intelektualitas (moral and intelectuality movement), gerakan politik nilai (political value movement) dan gerakan opini murni (original opinion movement).
Secara khusus tak banyak study yang membahas tentang student government atau student governance. Salah satu buku terkini tentang peran gerakan mahasiswa dalam formulasi kebijakan diedit oleh Miller dan Nadler dengan judul Student Governance and Institutional Policy: Formation and Implementation (2006). Dalam kata pengantar untuk buku ini, Laosebikan-Buggs menulis secara ringkas tentang gambaran umum student government di kampus. Laosebikan-Buggs menulis bahwa student government associations mula-mula muncul di Amerika di awal tahun 1900an, dibentuk oleh otoritas kampus untuk menata kehidupan mahasiswa. Tujuan essensial pendirian lembaga intra kampus, dengan demikian, memang kontrol universitas terhadap mahasiswa.
Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.

Seharusnya Demikian
Memahami good governance adalah syarat mutlak agar bisa diterapkan dan diadaptasikan dalam pemerintahan mahasiswa. Bagaimana mahasiswa memahami gerakan good governance ini. Mahasiswa terlebih dahulu harus memahami prinsip-prinsip good governance. Setidaknya ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Pertama adalah Visi strategis, pemerintahan mahasiswa dalam hal ini lembaga kamahasiswaan harus memiliki visi dan strategi yang jelas serta terarah. Sehingga memberikan arah dan fokus kerja lembaga kemahasiswaan serta efektifitas penggunaan sumber daya. Visi dan strategi yang disusun oleh masing-masing lembaga kemahasiswaan harus disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kemampuan untuk mencapainya. Kedua adalah Transparansi, Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. mahasiswa, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses Seluruh proses pemerintahan oleh mahasiswa, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau oleh mahasiswa. Semua informasi tentang kebijakan penyelenggaraan pemerintahan mahasiswa harus dapat diakses oleh mahasiswa. Seperti ketetapan-ketetapan DPM/SEMA, keputusan presiden mahasiswa, hasil-hasil lokakarya mahasiswa, hasil-hasil sidang mahasiswa, Standar Operating Procedure (SOP) yang diterapkan di masing-masing lembaga kemahasiswaan, dan lain-lain yang sifatnya harus diketahui oleh seluruh mahasiswa. Ketiga adalah Kesetaraan,pendekatan yang paling strategis adalah tindakan affirmatif action dalam berbagai regulasi yang ada. Pemerintahan mahasiswa harus menjamin tidak adanya kesenjangan antara mahasiswa yang kaya dengan yang miskin. Sehingga kesejahteraan mahasiswa terjamin. Lembaga kemahasiswaan bisa menyediakan sarana beasiswa untuk mahasiswa yang kurang mampu, bisa dengan subsidi silang atau bekerja sama dengan donatur. Selain itu, bisa juga lembaga kemahasiswaan membantu secara proaktif pihak institusi dalam menyampaikan informasi-informasi beasiswa dan memastikan beasiswa itu sampai ke tangan yang berhak menerimanya. Keempat adalah Peduli terhadap Stakeholders, Stakeholders mahasiswa sangat banyak antara lain mahasiswa itu sendiri, masyarakat, lingkungan dan masih banyak lagi.
Pemerintahan mahasiswa khususnya BEM/DEMA dan HIMA harus peduli terhadap permasalahan-permasalahan Stakeholders-nya. Ini wujud dari pelayanan umum, bahwa pemerintahan mahasiswa adalah public service. Untuk masyarakat BEM/DEMA dan HIMA bisa mengadakan program pengabdian masyarakat sebagai representatif dari tri darma perguruan tinggi. Bentuknya bisa bermacam-macam seperti bina desa, gerakan peduli lingkungan, pembinaan anak-anak jalanan, pembinaan UKM masyarakat, penyuluhan dan lain-lain.
Terlepas dari orientasi apapun yang dimiliki oleh student government, terdapat sejumlah fungsi pokok yang harus dijalankan oleh lembaga kemahasiswaan tersebut. Laosebikan-Buggs menyebutkan 3 (tiga) fungsi pokok student government yang satu sama lain sangat terkait, yakni advocacy, representation, and voice. Sebagai sebuah lembaga yang anggotanya dipilih, student government pada intinya adalah sebuah lembaga representasi. Karenanya, lembaga ini harus mampu memainkan peran advokasi bagi para mahasiswa, maupun bagi kelompok-kelompok mahasiswa yang ada di kampus.
Penyelenggaraan pemerintahan mahasiswa harus mengalami perkembangan menuju ke arah yang lebih baik. Penyelenggaraan lembaga kemahasiswaan tidak akan berjalan baik tanpa memperhatikan prinsip-prinsip good governance yang coba diadopsi dan diadaptasikan ke dalam sistem kelembagaan mahasiswa yang telah diuraikan di atas. Indikator baik-buruknya lembaga kemahasiswaan dinilai bila prinsip-prinsip good governance bisa dilaksanakan dengan baik. Pemerintahan mahasiswa dalam hal ini lembaga kemahasiswaan hanyalah sebuah miniatur pengaturan sebuah negara dengan tingkat komplektifitas yang tinggi. Hal ini sebagai sarana bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan penalaran, kepemimpinan, sosial politik, kepribadian, kewirausahaan dan manajemen untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin negeri ini. Semoga mahasiswa yang senantiasa belajar dan yang memiliki semangat juang tinggi yang akan memimpin negeri ini 20 tahun yang akan datang.

Monday, February 16, 2015

Sambutan Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Pasundan Bandung Beni Eka Putra


Seminar Legislativ Enrichmen!!!
Keberhasilan reformasi 1998 telah membawa bangsa Indonesia mengalami perubahan struktur kekuasaan yang sangat fundamental. Kedaulatan yang dahulu berada di tangan MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara, kini berubah secara mendasar menjadi kedaulatan konstitusi dimana semua lembaga negara memiliki susunan dan kedudukan yang setara, dimana antar lembaga dapat melakukan fungsi check and balances sehingga kehidupan ketatanegaraan kita diharapkan dapat lebih baik dari pada zaman sebelum orde reformasi.

Pun demikian kaitannya dengan hubungan Lembaga Eksekutif dengan Legislatif. Keadaan yang terjadi sebelum era reformasi adalah kekuasaan eksekutif terlalu ‘superior’ dalam hal kewenangannya membuat undang – undang. Akan tetapi, pasca amandemen UUD’45 yang merupakan salah satu buah reformasi ’98 , hal itu mengalami pergeseran yang cukup signifikan dimana sekarang kekuasaan legislatif mempunyai porsi yang lebih besar dibandingkan eksekutif. Artinya supremasi rakyat (yang dalam hal ini adalah DPR) mempunyai tempat yang lebih menguntungkan dan lebih kuat dibandingkan dimasa lalu. Dan oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi rakyat yang diwakili oleh DPR dapat memainkan peran yang lebih baik dan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat bawah melalui produk – produk yang dihasilkan melalui lembaga legislatif.
Dalam kehidupan ketatanegaraan kita mengenal konsep pembagian kekuasaan.Montesque pernah membagi tiga kekuasaan dalam upaya pengondisian tata negara yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dimana eksekutif adalah sentral yang menjalankan pemerintahan, legislatif adalah pembuat batasan sekaligus pengawas, dan yudikatif penjudge terhadap penyimpangan penyelenggaraan negara. Saat ini negara kita (Indonesia) pun memakai konsepsi tersebut walaupun agak sedikit berbeda karena adanya MPR disana, konsepsi (Montesque) yang lebih modern dibandingkan konsepsi monarki seperti Inggris atau Prancis pra-Revolusi atau pun Soviet dengan Presidiumnya.
Menarik sekali jika mencoba mencermati perkembangan gerakan mahasiswa sekarang ini. Ide-ide revolusi sistemik, pemerintahan rakyat miskin, dan lain-lain, ini merupakan tawaran segar yang tentu saja memerlukan telaah yang cukup mendalam. Salah satu di antara yang cukup menarik adalah prawacana atas student government (pemerintahan mahasiswa/negara mahasiswa). Ia diartikan sebagai pelembagaan kepentingan politik mahasiswa dalam format negara mahasiswa, namun tidak sama dengan negara, di mana konsepnya tidak terlepas dari teori negara. Kalau boleh di sini disederhanakan maka student government adalah gerakan mahasiswa yang dilembagakan/diformalkan.

Student government merupakan bentuk pemerintahan yang mengambil alih kekuasaan sehingga unsur-unsur kekuasaan dan kekuatan negara akan dikuasai oleh mahasiswa, hal ini tak lepas dari keprihatinan semakin tidak jelasnya arah reformasi. Kemudian yang kedua student government diberi kesempatan untuk menentukan kebijakan negara dengan masuk ke dalam sistem kekuasaan namun tidak seluruhnya. Sedangkan yang ketiga student government merupakan wadah gerakan mahasiswa itu sendiri yang di dalamnya mempunyai bentuk sama atau mirip dengan negara. Yang terakhir inilah yang barangkali menjadi entry point student government dalam patron reformasi. Selain dari segi formil/bentuk lembaga tersebut juga perlu dipikirkan bentuk materiil/substansi/prinsip dasarnya. Student government mempunyai, paling sedikit, 5 prinsip dasar yakni moralitas, intelektualitas, politis, independen, dan sejajar.
Kampus, tempat dimana bersemainya beragam nilai dan pemikiran juga mengadopsi konsepsi Montesque dalam Student Govermance, di Indonesia Trias Politica di kampus dimulai semenjak turunnya era Orde Baru, sebelumnya pada era Orde Lama yang dipakai adalah kepemimpinan Presidium dengan Dewan Mahasiswanya, lalu sekitar tahun 80-an dan 90-an disaat adanya NKK/BKK dimulailah berdirinya Senat Mahasiswa yang hanya mencakup fakultas, namun pada saat itu senat adalah lembaga eksekutif, legislatifnya adalah Badan Pengawas Senat, barulah muncul Badan Eksekutif Mahasiswa yang diprakarsai oleh UGM yang dari awal Senat mereka berbeda dengan apa yang ditawarkan pemerintah orde baru yaitu Senat Universitas. Setelah itu BEM tumbuh di berbagai kampus Indonesia. Ketika eksekutif sudah terbentuk barulah muncul lembaga legislatif kampus yang memang harus ada sebagai syarat mutlak penggunaan konsepsi Trias Polica seperti DPM, BPM atau MPM. Hanya yudikatif saja yang tidak ada dalam kampus dan tugasnya pun dialihkan kepada MPM, terkecuali UI dengan Mahkamah Mahasiswanya sebagai Lembaga Yudikatif Kampus. Dalam sambutan kali ini kita hanya akan membahas satu lahan yang selama ini terkesan tenggelam dengan aktivitas lembaga eksekutif kampus ( BEM ), yaitu Lembaga Legislatif Mahasiswa. Lembaga Legislatif Mahasiswa dengan Lembaga Eksekutif Mahasiswa selama ini terkesan berkompetisi untuk menjadi yang lebih ‘berkuasa’ terhadap sebuah isu, sehingga peran – peran lembaga legislatif cenderung tidak optimal dan kabur. Kita akan bahas tentang peran dari lembaga legislatif mahasiswa baik ditataran nasional maupun regional belum atau tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai lembaga legislatif, mahasiswa mempunyai 3 peran strategis yang dapat dimainkan yaitu, peran legislasi, control,Aspirasi dan anggaran. Agar dapat melakukan ketiga peran tersebut dengan baik tidaklah mudah, aktivis mahasiswa haruslah mempunyai sistem yang kuat serta mesin organisasi yang solid. Selain itu aktivis lembaga legislative mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan untuk memahami dan menganalisis setiap peran yang ia mainkan serta yang tak kalah penting adalah konsistensi dari sebuah agenda yang kemudian di terjemahkan dalam aksi – aksi di lapangan. Karena selama ini, kita para aktivis mahasiswa ternyata lebih banyak mengusung agenda tetapi hal itu tidak dibarengi dengan aksi yang mendorong /menopang goal setting agenda tersebut. Bahasa kasarnya adalah kita banyak mengagendakan isu – isu, habis itu kita tinggal pergi dan tenggelam dengan agenda yang baru.

Dari ketiga peran diatas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan aktivis lembaga legislative mahasiswa agar peran lembaga legislative lebih tepat pada sasaran dan dapat menghasilkan output yang mengakomodasi kepentingan mahasiswa. Pertama, agar peran legislasi dapat berjalan dengan baik ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh aktivis lembaga legislative mahasiswa. Yaitu : identifikasi masalah atau isu, analisis opsi kebijakan, penentuan opsi kebijakan dan rencana implementasinya di lapangan. Legislator kampus sebagai perwakilan mahasiswa adalah mereka yang nantinya akan merumuskan tertatanya sistem kampus dan tersampaikannya suara mahasiswa secara integral ke rektorat. Jika dilihat ligislator tersebut kerjanya hanya rapat dan sidang, karena memang bukan sebagai Lembaga Eksekutif yang menyusun gerakan dengan proker-proker andalan.. Sedangkan untuk mendukung peran kontrol atau pengawasan, parameter yang digunakan adalah : data kinerja pengawasan teknis, SOP Standar Pelaksanaan Oprasional, konfirmasi dan verifikasi dan tindakan politis serta keobjektifan data seperti observasi langsung ataupun riset data hitam putih. Peran ketiga yaitu anggaran dapat dilakukan dengan cara lembaga legislative menjadi pihak sentral dalam pengalokasian dana kegiatan kemahasiswaan, baik untuk UKM maupun Eksekutif.Gambaran yang sangat rumit jika hanya dilihat sekilas saja mengenai lembaga kampus yang paling tertinggi ini. Keberanian Legislatif Kampus akan sangat berpengaruh dalam tatanan kehidupan kampus, (seperti amandemen AD/ART sampai merubah sistem ataupun pemakzulan Presma) karena jika Legislatif kampus tidak terdengar sama saja aspirasi mahasiswa tidak disuarakan. Inilah ciri khas yang harus dimiliki Legislatif Kampus. Berani tegas demi perubahan, progresif sebagai penopang, dan pelindung kesewenangan rektorat. Harapan saya setelah diadakanya acara Seminar Legislativ Enrichment ini, kita didalam kenegaraan kemahasiswaan univertsitas pasundan harus bisa mengambil sikap tegas dalam merumuskan system pemerintahan ketata negaraan kemahasiswaan yang baik, sehingga tujuan dari berdirinya kelembagaan kemahasiswaan ini bisa tercaspai dan terlaksana semestinya.




Tuesday, January 13, 2015

SCIENCE EMPIRIS DAN PERADABAN ISLAM


                  Metode empiris atau eksperimental yang sejak abad 17 M. hingga kini begitu diagungkan dalam tradisi keilmuan di Barat, bukanlah barang asing dan seolah tak dikenal sama sekali dalam tradisi ulama klasik kita. Benih dan unsur-unsur metode ini pernah dipraktekan secara serius oleh ilmuwan muslim pada berbagai disiplin ilmu alam: seperti kimia, astronomi, optik, dll. Namun, jujur kita akui, sistematisir metode ini baru dilakukan pada abad ke-17 M. ditangan Francis Bacon (w.1620 M.) melalui karya monumentalnya: Novum Organum.

            Ahli kimia, Jabir bin Hayan (w. 160 H.), misalnya, dengan metode empirisnya mampu merumuskan unsur dan ciri-ciri zat serta reaksi-reaksi yang bisa menyebabkan timbulnya zat-zat baru. Metode yang sama, juga diterapkan ar-Razi (w. 311 H.), Ibnu Sina (w. 3479 H.) dan Ibnu al-Haitsyam (w. 1038) dalam bidang kedokteran. Buku kedokteran Ibnu Sina dan ar-Razi bahkan bertahan sebagai buku diktat pada sejumlah universitas top di Eropa hingga abad pencerahan Eropa. kita juga punya al-Biruni (w. 440 H.) dalam ilmu astronomi. Nama-nama  tadi adalah sedikit dari sekian banyak ilmuwan muslim yang menggunakan metode empiris dalam penelitiannya. Penuturan tadi, ditengah keterpurukan umat Islam dewasa ini, tentu saja tidak karena terjebak pada romantisisme-negatif sejarah keemasan Islam. Kita sadar sepenuhnya keagungan sejarah tak mewariskan apapun pada generasi selanjutnya kecuali suri teladan. Kalimat terakhir inilah ingin kita garis bawahi.
            Hanya saja perlu diingat bahwa metode empiris bukanlah satu-satunya metode yang biasa dipraktekan dan dijadikan tolak ukur kajian keilmuan ulama klasik. Masih banyak metode lain, selain metode empiris, yang juga sama-sama bisa mengantarkan kita pada kebenaran dan keyakinan objektif.

Pertanyaannya, kenapa kita tidak membatasi diri pada metode empiris saja? Bukankah lebih bisa diterima para penganut Positivisme, misalnya?

            Beragamnya corak metode bukanlah tanpa alasan. Keragaman ini berangkat dari sebuah keyakinan dan pandangan hidup (worldview) bahwa: pertama, realitas alam raya ini terbagi dua: alam fisik dan supranatural atau dalam bahasa al-Qur’an diistilahkan dengan âlam syahâdah dan âlam ghâib. Kedua, sebagai implikasi world view tadi, maka metode-metode yang digunakan tidak mungkin tunggal lagi, tapi harus disesuaikan dengan objek-objek penelitiannya. Nah, pada titik inilah metode empiris menemukan keterbatasannya. Karena ia hanya mungkin diterapkan pada kajian yang bisa diamati dengan indra saja. Artinya ia hanya bisa diaplikasikan pada objek alâm syahâdah atau realitas alam fisik saja. Kenyataan inilah yang menjelaskan kenapa begitu beragamnya metode yang kita miliki.

            Bagaimana cara ulama klasik memperoleh dan Kemudian menkonstruksi ilmu pengetahuannya? Apa saja yang dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuannya?

          Sebelum merumuskan teori dan sumber keilmuan ulama klasik, terlebih dulu kita harus membuat batas tegas antara tiga istilah kunci yang dipakai sebagai klasifikasi permanen dalam epistemologi (teori ilmu pengetahuan), supaya tidak terjadi tumpang tindih dan salah posisi. Tiga term itu adalah: ada yang disebut dengan (1) sumber ilmu pengetahuan (masdar al-ilm). (2) Ada juga yang disebut sebagai sarana atau medium untuk memperoleh dan merumuskan ilmu pengetahuan (al-wasilah) dan (3) metodologi penelitian sebagai alat untuk objektifikasi dan akurasi data.

            Perlu dicatat, kuantitas dan cakupan masing-masing term ini bersifat relatif –seperti nanti akan kita bedahkan, tergantung mazhab dan aliran pemikiran yang dianut. Misalnya, dalam poin kedua tentang al-wasilah, aliran filsafat materialisme radikal membatasi wasilah keilmuan pada panca indra saja. Hal-hal yang tak bisa di indra walaupun dibangun dengan kriteria dan tingkat konsistensi logika yang tinggi, tak dianggap sebagai ilmu (science). Sementara dalam tradisi keilmuan Islam, misalnya, selain panca indra juga ada rasio, tergantung pada objek apa yang sedang dikaji, sebagai ukuran kebenaran. Artinya sebuah pernyataan yang dibangun melalui rasio murni, dalam tradisi Islam dinamakan ilmiah (argumentatif) asal ada landasan konsistensi logika. Misalnya seperti kajian konsep ketuhanan. Bahkan al-Qur’an menyuruh kita untuk mengkombinasikan antara panca indra dengan rasio. 
            Sumber ilmu, ialah tempat dimana ilmu bisa diperoleh. Ia juga menjadi titik ukur kebenaran sejati. Pernyataan terakhir ini sesuai dengan kaidah: al-ilm yatba’ al-ma’lum (al-maklum atau objek pengetahuanlah yang menjadi tolak ukur kebenaran. Akal tak bisa mereka-reka seenaknya. Artinya secanggih apapun sebuah teori tetap tak dianggap akurat ketika, misalnya, menyatakan bahwa sesungguhnya matahari sebagai al-maklum- itu terbit di Barat dan tenggelam di Timur). Kecuali mazhab anti-realisme, kaidah ini diikuti mayoritas aliran pemikiran.

Apa Saja Yang Bisa Dijadikan Sumber Keilmuan dalam Islam?

            Dalam Islam yang bisa dijadikan sumber ilmu pengetahuan, sebagaimana kita temukan dengan mudah dalam mukadimah karya ulama-ulama ilmu kalam klasik adalah: wahyu dan kaun (alam semesta).

            Realitas dijadikannya wahyu, selain kaun, sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran tertinggi tentu memberikan implikasi luar biasa pada cara pandang umat Islam tentang berbagai hal yang terjadi di jagat raya ini.

            Kenyataan ini berbenturan dengan mainstream pemikiran yang berkembang di Barat dewasa ini, yaitu aliran positivisme atau matrialisme. Aliran ini menolak wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Baginya hanya hal-hal yang bisa diverifikasi dan dibuktikan lah yang bisa menjadi sumber keilmuan (alam semesta).

Apa Implikasinya?

            Implikasinya, bagi mereka –aliran matrialisme dan sejenisnya- persoalan metafisika: konsep Tuhan, konsep wahyu, akhirat, roh, alam barzah, malaikat, surga, konsep neraka dan sebagainya bukanlah sesuatu yang ilmiah. Kepercayaan terhadap alam gaib atau metafisika dianggap sebagai ilusi dan khurafat belaka. Misalnya saja, seorang tokoh psikoanalisis Barat-Modern, Sigmund Freud (w. 1939), mengatakan bahwa kepercayaan kita terhadap alam gaib atau metafisika dianggap sebagai ilusi atau khurafat belaka.

            Dalam Islam yang menerima konsep wahyu –selain kaun- sebagai sumber ilmu pengetahuan dan membangun visi metafisisnya melalui wahyu, menilai pembahasan metafisika sebagai kerja ilmu dan hasilnya pun, kalau dilakukan dengan metode yang benar, dianggap sebagai pengetahuan ilmiah.

Kenapa pengetahuan tentang Alam Gaib yang berdasarkan informasi wahyu dianggap pengetahuan ilmiah atau argumentatif?

            Yah, karena proses seorang muslim menuju pada keyakinan untuk menerima sepenuh hati, apapun hal gaib yang datang dari Allah Saw. sangat ilmiah, argumentatif dan dibangun diatas landasan dalil rasional-aksiomatik. Misalnya. setelah melakukan pengembaraan intelektual serius atas fenomena alam semesta dengan pendekatan dalil-dalil rasional-aksiomatik lewat teori-teori yang sering kita temukan dalam diktat kuliah ilmu kalam atau tauhid kita, misalnya, istihalah at-tasalsul wa ad-dawr, istihalh at-tarjih bila al-murajih, talazum al-bayin bi al-ma’na al-khas dan qanun ‘iliyah), hingga akhirnya terbersitlah sebuah keyakinan dan keimanan dalam hatinya akan wujud Allah Swt sebagai Dzat pencipta dan pengatur alam semesta, juga berstatus wajibul wujud dan Maha Kuasa.


            Sebagai konsekuensi logisnya, dia harus menerima apapun yang difirmankan atau diberitakan Allah Swt, termasuk soal gaib. Walaupun akal dan kemampuan intelektual manusia tak mampu mencernanya -karena urusannya berkaitan dengan dunia gaib. Penerimaan atas konsep metafisikaNya yang diambil dari al-Qur’an dan “Sunah”, dianggap sebagai pengetahuan ilmiah karena datang dari Dzat Maha Kuasa dan diinfokan melalui metodologi periwayatan atau penuturan yang sangat canggih, terpercaya dan berujung pada satu kesimpulan bahwa berita-berita seputar alam metafisik –dan yang lainnya- ini benar adanya karena betul-betul datang dari Dzat yang Maha Agung dan Berkuasa. Wallahu ‘alam.