Tulisan ini saya sampaikan dalam blog ini, dikarenakan melihat persoalan persoalan politik praktis yang terlalu direkayasa oleh para politikus yang ada diindonesia. ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Bapak Hasyim Asahari, karena tulisan ini banyak mengutip pendapat beliau.
Pengantar
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sedang dibahas Pemerintah dengan DPR, dan sudah menjelang akhir.
Salah satu perdebatan yang menonjol adalah pilkada akan diubah yang
semula Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat
pemilu, menjadi Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi dan Bupati/Walikota
tetap dipilih lewat pemilu.
Pertanyaan
yang muncul adalah apakah Pilkada dilaksanakan secara langsung atau
tidak langsung? Pilkada langsung di sini dimaksudkan bahwa pengisian
jabatan kepala daerah dilakukan melalui suatu pemilihan umum (pemilu)
atau dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Pilkada tidak langsung
nampaknya dimaknai bahwa kepala daerah dipilih tidak secara langsung
oleh rakyat-pemilih, namun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
atau ditunjuk (diangkat) oleh pejabat di atasnya.
Tulisan
ini hendak mengkaji beberapa model pengisian jabatan kepala daerah, dan
diikuti dengan rekomendasi model pengisian jabatan kepala daerah ke
depan. Tulisan mengarah kepada gagasan untuk mempertahankan pilkada
langsung atau pemilihan kepala daerah melalui pemilu (pemilukada).
Model Pilkada
Pengalaman di Indonesia selama ini menunjukkan setidaknya terdapat lima model pengisian jabatan kepala daerah. Model pertama,
kepala daerah dipilih secara tidak langsung, melainkan hanya
ditunjuk/diangkat oleh pejabat di atasnya. Pengalaman ini terdapat pada
daerah-daerah administratif bukan daerah otonom. Walikota di Jakarta
menduduki jabatannya karena diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta (vide Pasal 19 UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta).
Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat (vide
Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model
ini DPRD memilih beberapa calon kepala daerah, selanjutnya diajukan
kepada pejabat pemerintah di atasnya untuk dipilih salah satunya sebagai
kepala daerah (Mendagri untuk memilih Bupati/Walikota, dan Presiden
untuk memilih Gubernur).
Model ketiga, kepala daerah dipilih secara tidak langsung (vide Pasal 34 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Model keempat,
kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Dalam model ini adalah pilkada
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu dengan cara “penetapan”
oleh DPRD dan “pengesahan” oleh Presiden (vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 24 ayat (3, 4, 5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta).
Model kelima, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU
No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 1
angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Pada model
ini pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan,
dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang
memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk dipilih
secara langsung oleh rakyat-pemilih.
Argumentasi Mempertahankan Pilkada Langsung
Berdasarkan beberapa model tersebut, pengisian kepala daerah ke depan sebaiknya tetap mempertahankan model kelima,
yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui
pemilu. Pilihan model ini didasarkan pada argumentasi sejarah
pembentukan konstitusi (amandemen UUD 1945), argumentasi konstitusional,
dan argumentasi politik. Argumentasi ini didasarkan kepada metode
penafsiran dalam Hukum Tata Negara (HTN).
Argumentasi Historis Pembentukan Konstitusi
UUD
setelah dilakukan amandemen di dalamnya telah dilembagakan Pemilu bagi
anggota lembaga perwakilan maupun pemimpin pemerintahan, penyelesaian
sengketa hasil Pemilu, dan lembaga penyelenggara Pemilu. Namun
pengaturannya meninggalkan persoalan baru di bidang ketatanegaraan,
yaitu berkenaan dengan pengaturan untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dipilih melalui Pemilu
(Pasal 22E ayat 2), sedangkan untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota
(Kepala Daerah) dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4).
Mengapa
ada dua istilah “dipilih melalui Pemilu” dan “dipilih secara
demokratis”. Apakah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara demokratis
merupakan bagian Pemilu?. Dalam UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan
Daerah secara materiil Pilkada adalah kegiatan Pemilu karena mekanisme
dan tata cara mengadopsi Pemilu seperti yang diatur dalam undang-undang
pemilu (waktu itu UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No. 23
Tahun 2003 tentang Pilpres). Tetapi secara formil Pilkada berdasarkan UU
No. 32 Tahun 2004 bukan Pemilu sebagaimana dimaksud pelembagaan Pemilu
dalam UUD 1945 karena menempatkan Pilkada bagian dari kegiatan
pemerintah dengan menugaskan pelaksanaannya kepada Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD) tanpa keterlibatan atau peranserta KPU. Padahal KPUD
adalah jajaran vertikal KPU. Dengan pengaturan seperti ini Pilkada bukan
termasuk kategori Pemilu karena tidak diselenggarakan oleh KPU yang
memiliki sifat nasional seperti dimaksud UUD 1945, namun tatacara dan
mekanismenya mengadopsi Pemilu legislatif dan Pilpres. Akibat dari
tumpang tindihnya pengaturan seperti ini, pengaturan Pilkada dalam UU
No. 32 Tahun 2004 menjadikan Indonesia tidak memiliki standar pemilu
yang bersifat nasional dan selanjutnya gagal melembagakan sistem Pemilu
sebagaimana dimaksud UUD 1945. Kerumitan ini diselesaikan dengan
keputusan MK yang tidak lagi menempatkan KPUD bertanggung jawab kepada
DPRD, dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (kini diubah
menjadi UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu) yang
menempatkan pilkada sebagai bagian dari Pemilu.
Problematik
yang dihadapi sekarang dengan Pemilukada adalah berbagai macam mengenai
ketidak efisienan, pemborosan anggaran, dan konflik. Wacana diskusi
berkembang mulai dari dikembalikan lagi dipilih DPRD untuk gubernur
sedangkan bupati/walikota tetap melalui pemilu. Penggunaan istilah
“dipilih secara demokratis” menimbulkan multi tafsir. Di dalam ilmu
perundang-undangan dan ilmu HTN ada yang dinamakan tafsir hukum apabila
teks sebuah peraturan menimbulkan multi tafsir, maka dapat dilakukan
penafsiran hukum, antara lain gramatikal, sistemik, dan historis.
Kalau
dilihat dari sisi gramatikal, istilah demokratis membingungkan
mekanisme apa yang diterapkan. Demokratis hanya sebuah proses, tetapi
siapa yang memilih ini menjadi persoalan. Sistemik adalah menafsir
dengan logika konstruksi misalnya asas-asasnya dan konsistensi dengan
pengaturan yang lain. Dari sisi sistemik ini, dalam pasal yang sama dan
amandemen tahun yang sama mengapa dirumuskan DPRD dipilih melalui Pemilu
sedangkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Sedangkan pada
amandemen berikutnya Presiden dipilih secara langsung. Dalam sistem
pelembagaan pemilu seharusnya ada konsistensi pemilihan. Oleh sebab itu
dari sisi sistemik kepala daerah mestinya ditafsir dipilih melalui
pemilu langsung. Saat itu tidak langsung dirumuskan dipilih melalui
pemilu langsung karena belum tahu apakah nantinya presiden akan dipilih
langsung, dan juga memberi keluwesan karena ada kepala daerah yang tidak
dipilih berdasarkan undang-undang keistimewaan, yaitu Yogyakarta.
Dari
segi historis, yaitu melihat dari sejarah perumusan atau pembentukan
ketentuan itu. Dari risalah sidang dapat diketahui maksud perumusan
demokratis.[1][3]
Fraksi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Pertama kali istilah
Kepala Daerah dipilih secara demokratis disampaikan oleh FPDIP pada
sidang PAH I BP MPR yang membahas rumusan Bab VI pada tangal 29 Mei
2000. Pada initinya FPDIP mengemukakan bahwa selama ini pemerintah belum
melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 sebagaimana mestinya. Pemerintahan
dijalankan secara sentralistik dengan tekanan dan paksaan. Pemilihan
Kepala Daerah pada semua tingkatan dilakukan dengan penuh rekayasa dan
hanya mengedepankan tokoh-tokoh formal dan mengabaikan tokoh informal.
Untuk mencegah agar tidak terulang praktek-praktek tekanan dan paksaan,
FPDIP mengusulkan agar dicantumkan secara eksplisit dengan rumusan: “Daerah
Otonomi mempunyai Kepala Pemerintahan daerah yang dipilih secara
demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang”. Jelas
sekali yang dimaksud dipilih secara demokratis menurut FPDIP pada sidang
PAH I BP MPR di atas adalah untuk mengakiri praktek pemilihan kepala
daerah yang selama itu banyak dilakukan dengan cara rekayasa dan praktek
tekanan serta paksaan pemerintah terhadap mekanisme demokrasi untuk
memilih kepala daerah yang sedang berjalan. Rumusan dipilih secara
demokratis usulan PDIP bukan substansi yang mengarah kepada kepala
daerah dipilih secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD. Namun
ditekankan pada perbaikan praktek yang harus dilaksanakan dengan cara
demokratis.
Fraksi
Partai Golkar (FPG). Otonomi sebagai ruang bagi kedaulatan rakyat
daerah dalam pengertian komunitas politik memiliki makna mendalam, yaitu
bahwa demokrasi lokal dibutuhkan dalam rangka membangun otonomi daerah
yang kokoh. FPG mengemukakan bahwa konsep otonomi daerah yang memberikan
kekuatan kepada desentralisasi, tidak akan memenuhi sasarannya tanpa
didukung pelibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, diantaranya
adalah melalui pemilihan kepada daerah secara langsung.
Fraksi
Partai Persatuan Pembangunan (FPPP). Pengalaman praktek yang semuanya
diatur oleh pemerintah pusat sehingga terdapat ketimpangan-ketimpangan
yang dirasakan oleh daerah. Berdasarkan pokok pikiran itu, FPPP
mengusulkan tujuh item perubahan Pasal 18, yang salah satunya pada item
ketujuh yaitu mengusulkan agar “Gubernur, Bupati, dan Walikota
dipilih secara langsung oleh rakyat, yang secara langsung oleh rakyat
yang selanjutnya diatur dalam undang-undang, hal ini sejalan dengan
keinginan kita untuk Presiden juga dipilih secara langsung”.
Kemudian dalam tanggapan akhir antar fraksi sebelum memasuki tahap
lobi-lobi, FPPP kembali mengemukakan dengan tegas pada item keempatnya
bahwa “karena Presiden itu dipilih secara langsung maka pada
pemerintahan daerahpun gubernur, bupati, dan walikota itu dipilih
langsung oleh rakyat. Undang-undang dan tata caranya nanti diatur dalam
undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah”. Dengan demikian
menurut pikiran FPPP yang dimaksud “dipilih secara demokratis” dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih secara langsung sebagaimana
tata cara yang dilakukan untuk memilih Presiden.
Fraksi
Persatuan Daulat Ummah (FPDU yaitu gabungan dari Partai Nahdlatul
Ummah, Partai Kebangkitan Umat, Partai Politik Islam Masyumi, Partai
Daulat Rakyat, dan Partai Syarikat Islam Indonesia). Di sisi lain
pengaturan pemerintahan daerah cenderung melakukan penyeragaman, padahal
dalam penjelasan Pasal 18 founding fathers menyatakan dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemeenschappen seperti
desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dan sebagainya. Karena
itu FPDU berpendapat bahwa Pasal 18 tidak dapat lagi mengatur secara
keseluruhan pemerintahan daerah apalagi menata hubungan daerah dan
pusat. Selanjutnya FPDU mengusulkan perubahan Pasal 18 yang berisi
delapan item, antara lain pada item kedua “Setiap daerah otonom memiliki DPRD yang dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu” dan item keempat “Setiap daerah memiliki kepala pemerintahan daerah atau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat”.
Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat yang diusulkan FPDU harusnya
dipahami sebagaimana FPDU merumuskan anggota DPRD yang juga dipilih
oleh rakyat melalui pemilu, dengan demikian kepala daerah dipilih oleh
rakyat adalah dipilih melalui pemilu.
Fraksi
Kesatuan Kebangsaan Indonesa (FKKI yaitu gabungan dari PKP, PDI, PNI
Massa Marhaen, Partai Bhinneka Tunggal Ika, dan PNI Front Marhaenis).
Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus dilakukan dengan kesepakatan
bersama. Selama ini kita terjebak pada paradigma pusat dan daerah yang
mempertentangkan pusat dan daerah. Selanjutnya untuk menjamin hak-hak
rakyat di daerah, FKKI mengusulkan perubahan Pasal 18 yang antara lain
berisi “berkenaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang
langsung, maka kami mengusulkan pula Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota juga dipilih secara langsung”. Dengan demikian redaksi
dipilih secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) menurut FKKI harus
diartikan bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung sebagaimana
dimaksud pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung.
Fraksi
Kebangkitan Bangsa (FKB dari Partai Kebangkitan Bangsa), pada intinya
menyampaikan pokok pikiran bahwa berdasar aspirasi yang berkembang di
bawah nampaknya kecenderungan untuk bisa memiliki Gubernur dan Walikota
atau Bupati yang dipilih langsung oleh masyarakat sangat tinggi.
Selanjutnya dalam paparannya secara tegas dinyatakan, “oleh karena itu kami mengusulkan apabila kata-kata demokratis ini diganti dengan kata-kata dipilih langsung”.
Fraksi
Utusan Golongan (FUG) menyoroti hampir keseluruhan isi perubahan Pasal
18 hasil PAH I BP MPR. Mengenai pemilihan kepala daerah, inti paparannya
secara tegas menyatakan: “saya usulkan agar dipilih secara
demokratis itu diganti dengan langsung atau bisa kompromi juga dipilih
secara demokratis dan langsung”. Kepala Daerah dipilih secara
langsung ini menurut FUG juga agar koheren dengan seluruh sistem
pemilihan yang juga diusulkan beberapa fraksi, misalnya pemilihan
Presiden secara langsung, itu juga diterapkan sampai di tingkat bawah.
Fraksi
Reformasi (terdiri dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan).
Pembicara lain dari Fraksi Reformasi menggaris bawahi keberatan dengan
pencantuman pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Secara
tegas ia mengusulkan agar “Pasal 18 Gubernur dan seterusnya dipilih secara langsung”. Selanjutnya juga disampaikan: “karena
itu kata demokratis memang seharusnya dihapus karena kita sudah muak
dengan penuangan seperti itu. Karena itu pemilihan langsung lebih jelas,
karena demokratis itu seringkali tidak jelas”.
Dari
penafsiran historis pilkada secara demokratis tidak lain adalah dipilih
secara langsung. Dalam amandemen ketiga yang merumuskan Pasal 22E
ternyata secara eksplisit pemilu adalah untuk memilih Presiden, DPR,
DPD, dan DPRD. Ketentuan Pasal 18 (4) yang merumuskan dipilih secara
demokratis kenyataannya dibiarkan sampai berakhirnya amandemen keempat.
Dengan
demikian maka menurut UUD hasil amandemen dipilih secara demokratis
yang tepat adalah ditafsir dipilih secara langsung. Namun berdasarkan
pertimbangan sosiologis yaitu bersandar kepada kondisi masyarakat,
perkembangan politik, pertimbangan kepentingan yang lebioh besar
sosiologis juga bisa dijadikan tafsir hukum. Tetapi penggunaan ini sudah
terlepas dari sistemik dan historis perumusan ketentuan (pasal) yang
bersangkutan, karena hanya melihat perkembangan sosiologis masyarakat.
Karena itu ide-ide kepala daerah dikembalikan dipilih DPRD merupakan
tafsir sosiologis, bukan logika konsistensi hukum dan bukan berdasar
sejarah maksud dirumuskannya ketentuan itu. Bila memang mau taat
konstitusi, kepala daerah dipilih langsung seharusnya menjadi pilihan.
Sistem ini adalah konstitusional dalam arti memiliki landasan dan
argumen konstitusi yang kuat.
Argumentasi Konstitusional
Pertama, konstitusi Indonesia UUD 1945 menentukan bahwa bentuk Negara yang dianut Indonesia adalah Republik [vide Pasal 1 ayat (1)]. Sebagai konsekuensi sebuah Negara yang berbentuk Republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat [vide
Pasal 1 ayat (2)]. Implikasinya adalah pengisian jabatan
politik-kenegaraan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu [vide
Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal
22C ayat (1), dan Pasal 22E]. Kendatipun dalam Pasal 18 ayat (4)
ditentukan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara
demokratis, maka kata “demokratis” di sini harus dimaknai bahwa kepala
daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Dalam hal ini,
sekali lagi, sebagai konsekuensi bentuk Negara Republik, kedaulatan di
tangan rakyat, maka rakyatlah yang berhak menentukan kepala daerahnya.
Kedua,
konstitusi Indonesia UUD 1945 menganut sistem pemerintahan Presidensil
[vide Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7]. Salah satu ciri sistem
pemerintahan Presidensil adalah Presiden (pejabat eksekutif) dipilih
secara langsung oleh rakyat-pemilih, yang membedakan dengan sistem
parlementer di mana pimpinan eksekutif dipilih oleh parlemen berdasarkan
perolehan kursi mayoritas di parlemen. Dalam sistem parlemen sekali
pemilu mendapatkan dua hasil yaitu perolehan kursi parlemen, dan
sekaligus pemenang dalam parlemen berhak menempati jabatan pada pimpinan
eksekutif. Untuk menegaskan dan menjaga konsistensi sistem pemerintahan
Presidensil, maka dalam pengisian jabatan kepala daerah sebagai
pemimpin pemerintah daerah sudah seharusnya dilakukan melalui pemilu
secara langsung, bukan oleh parlemen (DPRD).
Argumentasi Politik
Pertama,
pemilu untuk memilih kepala daerah secara langsung merupakan sarana
membangun basis legitimasi bagi kepala daerah. Mengingat bahwa anggota
DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (apalagi
formula pemilihan anggota DPRD kini ditentukan dengan perolehan suara
terbanyak), untuk mengimbangi basis legitimasi DPRD maka sudah
seharusnya basis legitimasi kepala daerah juga dibangun lewat pemilu.
Kedua,
berjalannya pemerintahan daerah diperlukan stabilitas politik. Untuk
menjaga stabilitas politik ini diperlukan kesimbangan kekuatan politik
antara kepala daerah dan DPRD. Dalam hal kepala daerah dipilih oleh
DPRD, sebagai konsekuensinya adalah DPRD akan diberikan wewenang untuk
meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan kepala daerah sebelum
habis masa jabatannya. Padahal sebagai salah satu ciri sistem
pemerintahan Presidensil adalah adanya masa jabatan tertentu (lima
tahun) [fix term vide
Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) dan (2)], dan bila kepala daerah dipilih
dan diberhentikan oleh DPRD dikhawatirkan akan terjerumus kepada
ketidakstabilan politik dan mengarah kepada sistem parlementer.
Pengalaman sepanjang berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 membuktikan hal
ini. Untuk menghindari konflik politik antara kepala daerah dan DPRD
yang berkepanjangan, dan untuk menjaga kestabilan politik pemerintahan
daerah, maka sudah seharusnya kepala daerah dipilih secara langsung.
Ketiga,
dalam hal pengisian jabatan Gubernur sebagai kepala daerah provinsi
dilakukan oleh DPRD Provinsi, selain akan potensial menimbulkan konflik
sebagaimana pada argumen kedua, juga akan menimbulkan problem basis
legitimasi Gubernur di hadapan Bupati/Walikota jika Bupati/Walikota
dipilih secara langsung lewat pemilu. Dalam rangka menjalankan tugas
untuk mengkoordinir Bupati/Walikota, maka Gubernur harus memiliki
legitimasi politik yang kuat.
Keempat,
dalam hal Gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat-pemilih lewat
pemilu, dan tidak juga dipilih oleh DPRD, melainkan ditunjuk/diangkat
oleh Presiden, maka terdapat problem konstitusional. Problem tersebut
adalah daerah provinsi merupakan daerah otonom, bukan daerah
administratif, di mana daerah otonom memiliki wewenang mengatur dirinya
sendiri, termasuk dalam memilih kepala daerah, bukan ditunjuk/diangkat.
Bila pengisian jabatan Gubernur melalui ditunjuk/diangkat, problem
konstitusional harus diatasi terlebih dahulu yaitu mengubah status
provinsi bukan lagi sebagai daerah otonom.
Terhadap
gagasan mempertahankan pilkada langsung melalui pemilu tidak lepas dari
kritik. Terdapat tiga kritik yang sering diajukan, yaitu berkaitan
dengan mahalnya biaya pemilukada, masih maraknya politik uang dan
konflik kekerasan yang mewarnai pemilukada.
Terhadap kritik sejumlah kritik tersebut, Ramlan Surbakti memberikan jawaban. Pertama, berkaitan dengan pemilukada mahal. Efisiensi
dalam pembiayaan penyelenggaraan pemilukada dapat diwujudkan melalui
pemilu lokal serentak. Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal, jam, dan TPS yang sama
dengan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepala
daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Penghematan ini tidak
saja terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga
dalam sektor pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu
lokal.
Pemilu
lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena kampanye
akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk
pemilu anggota DPRD dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah
(provinsi dan kabupaten/kota). Pengeluaran kampanye yang paling besar
selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai bentuk kampanye yang sah
berdasarkan UU, melainkan untuk ”sewa perahu” agar dicalonkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih
secara langsung ataupun melalui perantara.
Kedua,
berkaitan dengan petahana cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye
pribadi. Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua
modus yang digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya,
yaitu dana bantuan sosial dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan
mengenai hal ini tidak sepenuhnya terletak pada UU Pilkada, tetapi juga
pada peraturan perundang-undangan lainnya.
Asumsi
yang hendaknya dipegang bukan ”manusia pada dasarnya baik” sehingga
tidak perlu diatur, melainkan ”apa pun latar belakangnya, manusia itu
dapat berbuat baik tetapi dapat pula berbuat buruk”. Karena itu
diperlukan pengaturan untuk mendorong kecenderungan baik dan mencegah
kecenderungan buruk. Pelaksanaan demokrasi harus berpedoman pada hukum.
Pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan alokasi
anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu
mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana.
Ketiga,
kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan
pemilukada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena
kekerasan di beberapa daerah. Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya
kesenjangan antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang
mendapat saluran yang memadai dari berbagai lembaga yang seharusnya
berperan. Partai politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai
representasi politik formal (mereka terpilih melalui pemilu untuk
mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya menampung dan
memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan adalah
partai politik merasa tidak bersalah setiap kali terjadi kekerasan
politik di daerah. Kedua, pemilu merupakan konflik yang dilembagakan.
Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang berupaya
keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan
kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan
akuntabel.
Pemilu
yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan konflik.
Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan
calon terpilih, tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa
kekerasan. Satu atau lebih aspek pelembagaan ini yang mungkin belum
efektif mencegah kekerasan. Pengajuan gugatan terhadap hasil pilkada
kepada Mahkamah Konstitusi hendaklah dilihat sebagai kesediaan
masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu secara beradab
(hukum), bukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah gugatan
terhadap hasil pilkada tidak dapat diartikan sebagai kelemahan, tetapi
suatu fenomena positif.
Posisi Wakil Kepala Daerah
Kedudukan wakil kepala daerah mendapat sorotan karena beberapa hal. Pertama,
posisi wakil kepala daerah dinilai tidak efektif dalam menjalankan
tugas dan wewenang, sehingga terkesan tumpang tindih dengan tugas dan
wewenang kepala daerah. Penilaian ini biasanya didasarkan kepada praktek
yang terjadi di mana wakil kepala daerah menjalankan “tugas sisa” yang
tidak dilakukan oleh kepala daerah dan biasanya tugas itu adalah tugas
yang “remeh-temeh”. Hal ini yang kemudian mendasari dilakukannya revisi
UU No. 32 Tahun 2004 menjadi UU No. 12 Tahun 2008 terutama berkaitan
dengan penegasan tugas dan wewenang wakil kepala daerah.
Kedua,
dalam praktek dipertanyakan soal mekanisme pengisian jabatan wakil
kepala daerah, yaitu apakah masih perlu dipertahankan mekanisme
pengisian jabatan wakil kepala daerah satu paket pasangan dengan kepala
daerah yang kemudian dipilih langsung lewat pemilu, atau wakil kepala
daerah cukup diisi dengan cara penunjukkan yang berasal dari PNS senior
setelah kepala daerah terpilih lewat pemilu?
Berkaitan
dengan masalah pertama, kedudukan wakil kepala daerah masih diperlukan.
Hal ini mengingat bahwa urusan pemerintah daerah cukup banyak dan cukup
berat. Harap diingat dalam konteks daerah otonom, hampir semua urusan
pemerintahan didesentralisasikan ke daerah kecuali urusan-urusan
tertentu (pertahanan, keamanan, luar negeri, agama, dan keuangan fiskal
dan moneter). Dengan demikian nampaknya masih diperlukan jabatan wakil
kepala daerah dalam rangka membantu tugas kepala daerah dalam
menjalankan urusan pemerintah daerah.
Dengan
demikian, apabila jabatan wakil kepala daerah masih dipertahankan, maka
yang diperlukan adalah penegasan kembali soal pembagian tugas dan
wewenang antara kepala dan wakil kepala daerah. Kendatipun wakil kepala
daerah hanya “membantu” dan keputusan tetap berada di tangan kepala
daerah, namun untuk menghindari tumpang tindih pembagian tugas dan
wewenang, tetap diperlukan pengaturan tugas dan wewenang di antara
mereka dan pengaturan itu berada di tingkat undang-undang.
Berkaitan
dengan masalah kedua, tentang mekanisme pengisian jabatan wakil kepala
daerah masih tetap melalui pemilu dalam satu paket pasangan kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Hanya saja mekanisme pencalonannya saja
yang diubah, yaitu yang dipilih dalam mekanisme internal partai politik
hanya calon kepala daerah saja, dan calon wakil kepala daerah dipilih
sendiri oleh calon kepala daerah.
Selama
ini pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah dipilih melalui
mekanisme internal partai politik, dengan pola yang hampir sama di semua
daerah, yaitu calon kepala daerah bisa jadi berasal dari kalangan
eksternal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya ekonomi
yang kuat), dan calon wakil kepala daerah berasal dari internal partai
politik (dengan asumsi memiliki sumber daya politik yang kuat). Kemudian
dalam waktu yang tidak terlalu lama, bila komunikasi politik di antara
mereka tidak berjalan baik (retak), maka kemudian di antara mereka jalan
sendiri-sendiri, di sinilah letak persoalannya.
Dengan
asumsi untuk membangun pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang
stabil, maka ke depan calon kepala daerah yang terpilih lewat mekanisme
internal partai politik kemudian dipersilahkan memilih calon wakilnya
sendiri alias tidak dipilihkan partai politik, sehingga loyalitas wakil
kepala daerah hanya kepada kepala daerah dan bukan kepada partai
politik. Selanjutnya pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah itu
diajukan dalam pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.
Formula
pasangan calon seperti ini selain dengan tujuan untuk membangun
stabilitas pasangan selama menjabat, juga yang tidak kalah pentingnya
adalah pada saat terjadi kondisi darurat di mana kepala daerah tidak
dapat melanjutkan tugas sebagai kepala daerah, akan digantikan oleh
wakil kepala daerah yang sama-sama memiliki basis legitimasi kuat yaitu
sama-sama dipilih dalam pemilu.
Apabila
wakil kepala daerah akan ditunjuk dan berasal dari kalangan PNS senior,
akan menimbulkan sejumlah masalah. Tentu saja masalah pertama berkaitan
dengan basis legitimasi politik yang berbeda dengan kepala daerah yang
dipilih langsung dalam pemilu. Demikian juga bila terjadi kondisi
darurat, wakil kepala daerah model ini akan mengahadapi masalah basis
legitimasi.
Selain
itu, bila wakil kepala daerah berasal dari jajaran PNS akan menghadapi
masalah dengan kedudukan Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga seorang PNS
senior. Model ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dalam
kaitannya dengan tumpang tindih pelaksanaan birokrasi sehari-hari.
Demikian juga pada akhirnya kepala daerah yang merupakan jabatan politik
akan serasa “dikepung” oleh kalangan PNS senior di jajaran birokrasi
pemerintahan daerah.
Oleh
karena beberapa hal tersebut, diusulkan agar pasangan kepala dan wakil
kepala daerah masih tetap dipilih melalui pemilu dalam satu paket
pasangan. Bahkan untuk merealisasikan visi, misi dan program kerjanya,
pasangan kepala dan wakil kepala daerah diperbolehkan membawa/merekrut
sejumlah orang yang sejak awal terlibat membantu menyusun visi, misi dan
program kerja untuk memastikan bahwa program kerjanya dapat dijalankan (political appointee).
Bandingkan
dengan pasangan presiden dan wakil presiden yang dapat merekrut para
pembantunya (menteri dan staf khusus) dalam jumlah yang besar untuk
mensukseskan visi, misi dan program kerjanya. Harap diingat bahwa
program pembangunan jangka pendek lima tahunan adalah perwujudan dari
visi, misi dan program kerja yang telah dikampanyekan dalam pemilu. Hal
ini berbeda dengan kepala dan wakil kepala daerah pada saat menduduki
jabatannya hanya mereka berdua, dan selainnya adalah aparat birokrasi
pemerintahan daerah yang secara politik biasanya memiliki “visi, misi
dan program kerja” sendiri yang tidak jarang berbeda dengan kepala dan
wakil kepala daerahnya.
Penutup: Pelembagaan Politik
Berdasarkan
argumentasi historis pembentukan konstitusi, konstitusional dan politik
tersebut, dalam rangka revisi UU Pilkada diajukan 3 rekomendasi
berikut.
Pertama,
pengisian jabatan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota)
berdasarkan argumentasi konstitusional dan politik sebagaimana diuraikan
di atas, harus tetap dipertahankan dengan mekanisme pemilihan secara
langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu.
Kedua, diperlukan penataan pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu.
Pelembagaan waktu pemilu ini adalah menata pemilu menjadi dua jenis
pemilu, yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk
memilih DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada
waktu yang bersamaan (dalam satu pemungutan suara ditujukan untuk
memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden). Pemilu
secara bersamaan waktu ini dimaksudkan untuk memperkuat stabilitas
politik, terutama relasi politik antara DPR dan Presiden, karena
bangunan koalisi politik akan dibangun sejak dini, bukan koalisi sesaat
setelah pemilu legislatif. Pada waktu berikutnya (2 atau 2,5 tahun
berikutnya) diselenggarakan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD
(provinsi dan kabupaten/kota) dan sekaligus memilih Gubernur dan
Bupati/Walikota. Pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu yang demikian
ini, selain untuk membangun stabilitas politik, dan untuk meredam
masyarakat agar tidak terfragmentasi secara terus-menerus, juga dalam
rangka efisiensi biaya pemilu.
Ketiga,
karena partai politik sebagai aktor utama dalam pengisian jabatan
politik-kenegaraan, maka sudah saatnya partai politik didorong untuk
segera merevitalisasi diri dan mengoptimalkan perannya, terutama dalam
pendidikan politik, rekrutmen politik dan artikulasi kepentingan politik
rakyat. Salah satu agenda utama demokratisasi Indonesia adalah
mendemokratiskan partai politik. ©
Daftar Pustaka
Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy’ari, 2011, Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Seri Demokrasi Elektoral Buku 2, (Jakarta: Partnership-Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia).