BENI EKA PUTRA,S.H. SEORANG PEMUDA ASLI MINANG KABAU BERKARIR DIDUNIA PRAKTISI HUKUM

Wednesday, October 29, 2014

PERAN PEMUDA DALAM PARTISIPASI PEMBANGUNAN

REFLEKSI PERAN PEMUDA DALAM HARI SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER
OLEH
BENI EKA PUTRA
KETUA UMUM DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS PASUNDAN


Kaum muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia, baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang sudah menyelesaikan pendidikanya adalah aktor aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita cita pencerahan kehidupan bangsa kita dimasa depan. "The Founding Fathers" Indonesia telah meletakan dasar dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Kita mendirikan negara Republik Indonesia untuk maksud melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita cita tersebut, bangsa kita telah pula bersepakat membangun kemerdekaan kebangsaan dalam suasana Oranisasi Negara Hukum yang bersifat demokratis (democratische rechtsaat) dan sebagai negara Demokrasi konstitusional (constitutional democrasy) berdasarkan pancasila.

Dalam upaya mewujudkan cita cita itu, tentu banyak permasalahan, tantangan, hambatan, rintangan, dan bahkan ancaman yang harus dihadapi. Masalah masalah yang harus kita hadapi itu beraneka ragam corak dan dimensinya. banyak masalah yang timbul sebagai warisan masa lalu, banyak pula masalah masalah baru yang terjadi sekarang ataupun yang akan datang dari masa depan kita.

Dalam menghadapi beraneka persoalan tersebut, selalu da kecemasan, kekahawatiran, atau bahlan ketakutan ketakutan sebagai akibat kealfaan atau kesalahan yang kita lakukan atau sebagai akibat hal hal yang berada diluar jangkauan kemampuan kita, seperti karena terjadinya bencana alam atau karea terjadinya krisis keuangan dinegara lain yang berpengaruh terhadap perekonomian kita di dalam negri.

Dalam perjalanan bangsa kita selama 100 tahun terakhir sejak kebangkitan nasional, selama 80 tahun tterakhir sejak sumpah pemuda, selama 63 tahun terakhir sejak kemerdekaan, ataupun selama 10 ktahun terakhir sejak reformasi, telah banyak kemajuan yang telah kita capai, tetapi masih jauh lebih banyak lagi yang belum dan mesti kita kerjakan. saking banyaknya permasalahan yang kita hadapi, terkadang orang cenderung larut dalam keluh kesah tentang kekurangan, kelemahan, dan ancaman ancaman yang harus dihadapi yang seolah olah tidak tersedia lagi jalan untuk keluar atau solusi untuk mengatasi keadaan.

Penting bagi kita semua, terutama kaum muda indonesia, membiasakan diri yaitu untuk mengajarkan apa saja yang semestinya kita kerjakan guna memperbaiki keadaan dan meningkatkan produktifitas kita sebagai bangsa dan negara. setiap anak bangsa perlu bertekad melaksanakan tugas dan kewajiban masing masing melebihi apa yang seharusnya dikerjakan, dengan hanya mengambil hak tidak melebihi hak yang memang seharusnya diterima.

SEJARAH PERGERAKAN MAHSISWA DAN PEMUDA INDONESIA
Sebuah negara bukan tidak mungkin dan dicetak dari kalngan muda yang merupakan dari latar belakang yang berbeda beda, karakter karakter anak bangsa merupakan cermin mempunyai jiwa ke arah peranya sebagai anak bangsa memperdulikan arti pentingnya sebuah kebebsan dan menentukan sebuah sikap.

Takala kita membahs peran dan pemuda dan mahasiswa, tergambar sejumlah pesan sejarah mengenai posisi yang strategis sebagai penggerak penentu perjalanan perjuangan bangsa bangsa didunia dari zaman ke zaman (Lukaman Hakim;2003). sebuah konsep yang baru dari para kaum sejati sangat ditunggu dan diaharapkan oleh masa dan zaman. banyak sejarah yang mencatat siapa saja telah banyak mendulung lahirnya sebiah bangsa dan negara indonesia dengan sebuah pola konsep yang ada. para peyair, novelis, kolumnis kerap menitip pesan pesan kemanusianya yang berdab secara universal kepada  pemuda.

Jika kita menyusuri sejarah bangsa ini, kita akan bertemu dengan generasi 1900an yang mempelopori kebangkitan nasional dengan terbentuknya Boedi Oetomo sebagai organisasi yang boleh dikatan sebagai titik awal terbentuknya organisasi yang bersifat nasional. Dilanjtkan dengan perjuangan generasi 1928 yang berhasil mempelopori persatuan nasional melalui SUMPAH PEMUDA. Lalu, kita akan bertemu dengan generasi 1945 yang mempelopori perjuangan kemerdekaan dan generasi 1966 yang berhasil menghakiri rezim orde lama. semua angkatan itu silih berganti sampai datang angakatan 1998 yang mampu menumbangkan rezim orde baru. rangkaian sejarah ini membuktikan bahwa peran pemuda sangat dinantikan untuk percepatan perbaikan bangsa.

Gerakan mahasiswa diindonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun diluar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat didalamnya. dalam sejarah perjuangan bangsa indonesia, gerakan mahsiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional antara lain:
1.1908 Boedi Oetomo
2. 1928 (Sumpah Pemuda)
3. 1945 kelompo studi
4. 1966 tumbangnya rezim Orde Lama
5. 1974 Malari ( Lima belas januari)
6. 1978 ( Pemberlakuan konsep NKK/BKK)
7. 1990 (Dicabutnya konsep NKK/BKK)
8. 1998 Reformasi 

MENGAPA PEMUDA PENTING BAGI MASA DEPAN BANGSA?
Generasi muda adalah generasi harapan bangsa. Pernyataan tersebut sangat membanggakan bagi masyarakat apabila menjadi kenyataan. akan tetapi, realita membuktikan bahwa generasi muda diindonesia cenderung mengkhawatirkan prilakunya bagi kelanjutan masa depan bangsa yang lebih baik.

Hal ini bisa dibutikan dari banyaknya kasus yang tterjadi pada generasi muda antara lain kasus NARKOBA, KEJAHATAN, PERGAULAN BEBAS, APATIS, HEDONIS, DAN BANYAK ANAK ANAK JALANAN. KEBERADAAN PEMUDA TENTUNYA MASIH SANGAT DIPERLUKAN DALAM RANGKA REGENARASI UNTUK MELANJUTKAN DAN MEWUJUDKAN CITA CITA BANGSA YANG SUDAH SEJAK LAMA DIPERJUANGKAN OLEH PARA PENDAHULU DINEGRI INI.

Melihat fenomena yang terjadi pada generasi muda saat ini, tidak berlebihan apabila jati diri mereka yang sesuai dengan nilai nilai luhur bangsa dipertanyakan. konsekuensi dari keraguan akan jati diri generasi muda indonesia adalah akses bagi generasi muda untuk tampil sebagai pemimpin dan pemuda harapan bangsa sulit didapatkan. Pendidikan sebagai salah satu media yang cukup efektif dalam membangun kepribadian dan kreativitas generasi muda hanya menjadi harapan yang sulit mereka peroleh. hal ini bisa dilihat dari semakin mahalnya biaya pendidikan bagi masyarakat ekonomi menengah kebaeah. pendidikan yang berkualitas dan nyaman seolah olah hanya dapat dinikamati oleh masyarakat yang mampu secara finansial. Dampak lanjutan yang terjadi akibatnya mahal biayab pendidikan diindonesia adalah prilaku siswa/mahasiswa yang cendrung pragmatis. mereka akan berkalkulasi dengan msa studi yang relatif lebih cepat untuk memperoleh perkejaan yang baik (Gaji tinggi)

Meskipun ilmu yang diperolehnya dapat memberikan manfaat kepada masyarakat atau tidak. yang menjadi ukuran adalah dengan biaya pendidikan yang lbih mahal, tingkat ego mereka untuk suskses lebih tinggi tanpa m,elihat lingkungan sekitarnya seperti apa. Sehingga pemuda akan tugas dan peran penting yang seharusnya menjadi tanggungjawab mereka dalam mempertahankan dan meningkatkan kemajuan serta mewujudkan cita cita pendahulu kita. Terkadang gerak pemuda mahasiswa bertopeng ala malikat untuk mendapatkan sebuah NAMA atau Eksistensi dari teman teman dan orang lain untuk mewujudkan sifat TAMAK dalam jiwa mereka, dikarenakan kurang pahamnya pemuda akan tugas mereka. 

PEMUDA YANG AKAN MENJADI ROBOT?
PEMUDA YANG BISA MELAKUKAN PERUBAHAN TERHADAP BANGSA DAN NEGARANYA?
PEMUDA YANG KONSUMTIF DENGAN ALA GAYA INTERNASIONAL YANG MEMBUTUKAN SEMANGAT PERUBAHAN?
PEMUDA YANG SUKA MELAKUKAN POLITIK PRAGMATIS UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI/GOLONGAN?
PEMUDA YANG HANYA BISA CURHAT DIMEDSOS?
PEMUDA YANG HANYA TUNDUK DENGAN KEZALIMAN?
TINGGAL KALIAN PILIH.

HIDUP PEMUDA, HIDUP MAHSISWA INDONESIA.
 Yakinkanlah dengan Iman, Usahakanlah sesuatu hal dengan Ilmu dan sampaikanlah dengan Amal.

Wednesday, September 24, 2014

MEMPERRTAHANKAN PEMILIHAN KEPALA DAN WAKIL KEPADALA DAERAH LANGSUNG

Tulisan ini saya sampaikan dalam blog ini, dikarenakan melihat persoalan persoalan politik praktis yang terlalu direkayasa oleh para politikus yang ada diindonesia. ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Bapak Hasyim Asahari, karena tulisan ini banyak mengutip pendapat beliau.
 
Pengantar
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sedang dibahas Pemerintah dengan DPR, dan sudah menjelang akhir. Salah satu perdebatan yang menonjol adalah pilkada akan diubah yang semula Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat pemilu, menjadi Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi dan Bupati/Walikota tetap dipilih lewat pemilu.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah Pilkada dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung? Pilkada langsung di sini dimaksudkan bahwa pengisian jabatan kepala daerah dilakukan melalui suatu pemilihan umum (pemilu) atau dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Pilkada tidak langsung nampaknya dimaknai bahwa kepala daerah dipilih tidak secara langsung oleh rakyat-pemilih, namun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), atau ditunjuk (diangkat) oleh pejabat di atasnya.
Tulisan ini hendak mengkaji beberapa model pengisian jabatan kepala daerah, dan diikuti dengan rekomendasi model pengisian jabatan kepala daerah ke depan. Tulisan mengarah kepada gagasan untuk mempertahankan pilkada langsung atau pemilihan kepala daerah melalui pemilu (pemilukada).
Model Pilkada
Pengalaman di Indonesia selama ini menunjukkan setidaknya terdapat lima model pengisian jabatan kepala daerah. Model pertama, kepala daerah dipilih secara tidak langsung, melainkan hanya ditunjuk/diangkat oleh pejabat di atasnya. Pengalaman ini terdapat pada daerah-daerah administratif bukan daerah otonom. Walikota di Jakarta menduduki jabatannya karena diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta (vide Pasal 19 UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta).
Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat (vide Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini DPRD memilih beberapa calon kepala daerah, selanjutnya diajukan kepada pejabat pemerintah di atasnya untuk dipilih salah satunya sebagai kepala daerah (Mendagri untuk memilih Bupati/Walikota, dan Presiden untuk memilih Gubernur).
Model ketiga, kepala daerah dipilih secara tidak langsung (vide Pasal 34 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Model keempat, kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Dalam model ini adalah pilkada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu dengan cara “penetapan” oleh DPRD dan “pengesahan” oleh Presiden (vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 24 ayat (3, 4, 5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta).
Model kelima, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Pada model ini pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan, dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.
Argumentasi Mempertahankan Pilkada Langsung[1]
Berdasarkan beberapa model tersebut, pengisian kepala daerah ke depan sebaiknya tetap mempertahankan model kelima, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu. Pilihan model ini didasarkan pada argumentasi sejarah pembentukan konstitusi (amandemen UUD 1945), argumentasi konstitusional, dan argumentasi politik. Argumentasi ini didasarkan kepada metode penafsiran dalam Hukum Tata Negara (HTN).[2]
Argumentasi Historis Pembentukan Konstitusi


UUD setelah dilakukan amandemen di dalamnya telah dilembagakan Pemilu bagi anggota lembaga perwakilan maupun pemimpin pemerintahan, penyelesaian sengketa hasil Pemilu, dan lembaga penyelenggara Pemilu. Namun pengaturannya meninggalkan persoalan baru di bidang ketatanegaraan, yaitu berkenaan dengan pengaturan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dipilih melalui Pemilu (Pasal 22E ayat 2), sedangkan untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota (Kepala Daerah) dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4).
Mengapa ada dua istilah “dipilih melalui Pemilu” dan “dipilih secara demokratis”. Apakah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara demokratis merupakan bagian Pemilu?. Dalam UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara materiil Pilkada adalah kegiatan Pemilu karena mekanisme dan tata cara mengadopsi Pemilu seperti yang diatur dalam undang-undang pemilu (waktu itu UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres). Tetapi secara formil Pilkada berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 bukan Pemilu sebagaimana dimaksud pelembagaan Pemilu dalam UUD 1945 karena menempatkan Pilkada bagian dari kegiatan pemerintah dengan menugaskan pelaksanaannya kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tanpa keterlibatan atau peranserta KPU. Padahal KPUD adalah jajaran vertikal KPU. Dengan pengaturan seperti ini Pilkada bukan termasuk kategori Pemilu karena tidak diselenggarakan oleh KPU yang memiliki sifat nasional seperti dimaksud UUD 1945, namun tatacara dan mekanismenya mengadopsi Pemilu legislatif dan Pilpres. Akibat dari tumpang tindihnya pengaturan seperti ini, pengaturan Pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan Indonesia tidak memiliki standar pemilu yang bersifat nasional dan selanjutnya gagal melembagakan sistem Pemilu sebagaimana dimaksud UUD 1945. Kerumitan ini diselesaikan dengan keputusan MK yang tidak lagi menempatkan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (kini diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu) yang menempatkan pilkada sebagai bagian dari Pemilu.
Problematik yang dihadapi sekarang dengan Pemilukada adalah berbagai macam mengenai ketidak efisienan, pemborosan anggaran, dan konflik. Wacana diskusi berkembang mulai dari dikembalikan lagi dipilih DPRD untuk gubernur sedangkan bupati/walikota tetap melalui pemilu. Penggunaan istilah “dipilih secara demokratis” menimbulkan multi tafsir. Di dalam ilmu perundang-undangan dan ilmu HTN ada yang dinamakan tafsir hukum apabila teks sebuah peraturan menimbulkan multi tafsir, maka dapat dilakukan penafsiran hukum, antara lain gramatikal, sistemik, dan historis.
Kalau dilihat dari sisi gramatikal, istilah demokratis membingungkan mekanisme apa yang diterapkan. Demokratis hanya sebuah proses, tetapi siapa yang memilih ini menjadi persoalan. Sistemik adalah menafsir dengan logika konstruksi misalnya asas-asasnya dan konsistensi dengan pengaturan yang lain. Dari sisi sistemik ini, dalam pasal yang sama dan amandemen tahun yang sama mengapa dirumuskan DPRD dipilih melalui Pemilu sedangkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Sedangkan pada amandemen berikutnya Presiden dipilih secara langsung. Dalam sistem pelembagaan pemilu seharusnya ada konsistensi pemilihan. Oleh sebab itu dari sisi sistemik kepala daerah mestinya ditafsir dipilih melalui pemilu langsung. Saat itu tidak langsung dirumuskan dipilih melalui pemilu langsung karena belum tahu apakah nantinya presiden akan dipilih langsung, dan juga memberi keluwesan karena ada kepala daerah yang tidak dipilih berdasarkan undang-undang keistimewaan, yaitu Yogyakarta.
Dari segi historis, yaitu melihat dari sejarah perumusan atau pembentukan ketentuan itu. Dari risalah sidang dapat diketahui maksud perumusan demokratis.[1][3]
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Pertama kali istilah Kepala Daerah dipilih secara demokratis disampaikan oleh FPDIP pada sidang PAH I BP MPR yang membahas rumusan Bab VI pada tangal 29 Mei 2000. Pada initinya FPDIP mengemukakan bahwa selama ini pemerintah belum melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 sebagaimana mestinya. Pemerintahan dijalankan secara sentralistik dengan tekanan dan paksaan. Pemilihan Kepala Daerah pada semua tingkatan dilakukan dengan penuh rekayasa dan hanya mengedepankan tokoh-tokoh formal dan mengabaikan tokoh informal. Untuk mencegah agar tidak terulang praktek-praktek tekanan dan paksaan, FPDIP mengusulkan agar dicantumkan secara eksplisit dengan rumusan: “Daerah Otonomi mempunyai Kepala Pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang”. Jelas sekali yang dimaksud dipilih secara demokratis menurut FPDIP pada sidang PAH I BP MPR di atas adalah untuk mengakiri praktek pemilihan kepala daerah yang selama itu banyak dilakukan dengan cara rekayasa dan praktek tekanan serta paksaan pemerintah terhadap mekanisme demokrasi untuk memilih kepala daerah yang sedang berjalan. Rumusan dipilih secara demokratis usulan PDIP bukan substansi yang mengarah kepada kepala daerah dipilih secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD. Namun ditekankan pada perbaikan praktek yang harus dilaksanakan dengan cara demokratis.
Fraksi Partai Golkar (FPG). Otonomi sebagai ruang bagi kedaulatan rakyat daerah dalam pengertian komunitas politik memiliki makna mendalam, yaitu bahwa demokrasi lokal dibutuhkan dalam rangka membangun otonomi daerah yang kokoh. FPG mengemukakan bahwa konsep otonomi daerah yang memberikan kekuatan kepada desentralisasi, tidak akan memenuhi sasarannya tanpa didukung pelibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, diantaranya adalah melalui pemilihan kepada daerah secara langsung.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP). Pengalaman praktek yang semuanya diatur oleh pemerintah pusat sehingga terdapat ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan oleh daerah. Berdasarkan pokok pikiran itu, FPPP mengusulkan tujuh item perubahan Pasal 18, yang salah satunya pada item ketujuh yaitu mengusulkan agar “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang secara langsung oleh rakyat yang selanjutnya diatur dalam undang-undang, hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk Presiden juga dipilih secara langsung”. Kemudian dalam tanggapan akhir antar fraksi sebelum memasuki tahap lobi-lobi, FPPP kembali mengemukakan dengan tegas pada item keempatnya bahwa “karena Presiden itu dipilih secara langsung maka pada pemerintahan daerahpun gubernur, bupati, dan walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-undang dan tata caranya nanti diatur dalam undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah”. Dengan demikian menurut pikiran FPPP yang dimaksud “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih secara langsung sebagaimana tata cara yang dilakukan untuk memilih Presiden.
Fraksi Persatuan Daulat Ummah (FPDU yaitu gabungan dari Partai Nahdlatul Ummah, Partai Kebangkitan Umat, Partai Politik Islam Masyumi, Partai Daulat Rakyat, dan Partai Syarikat Islam Indonesia). Di sisi lain pengaturan pemerintahan daerah cenderung melakukan penyeragaman, padahal dalam penjelasan Pasal 18 founding fathers menyatakan dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dan sebagainya. Karena itu FPDU berpendapat bahwa Pasal 18 tidak dapat lagi mengatur secara keseluruhan pemerintahan daerah apalagi menata hubungan daerah dan pusat. Selanjutnya FPDU mengusulkan perubahan Pasal 18 yang berisi delapan item, antara lain pada item kedua “Setiap daerah otonom memiliki DPRD yang dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu” dan item keempat “Setiap daerah memiliki kepala pemerintahan daerah atau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat”. Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat yang diusulkan FPDU harusnya dipahami sebagaimana FPDU merumuskan anggota DPRD yang juga dipilih oleh rakyat melalui pemilu, dengan demikian kepala daerah dipilih oleh rakyat adalah dipilih melalui pemilu.
Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesa (FKKI yaitu gabungan dari PKP, PDI, PNI Massa Marhaen, Partai Bhinneka Tunggal Ika, dan PNI Front Marhaenis). Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus dilakukan dengan kesepakatan bersama. Selama ini kita terjebak pada paradigma pusat dan daerah yang mempertentangkan pusat dan daerah. Selanjutnya untuk menjamin hak-hak rakyat di daerah, FKKI mengusulkan perubahan Pasal 18 yang antara lain berisi “berkenaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang langsung, maka kami mengusulkan pula Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota juga dipilih secara langsung”. Dengan demikian redaksi dipilih secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) menurut FKKI harus diartikan bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung sebagaimana dimaksud pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung.
Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB dari Partai Kebangkitan Bangsa), pada intinya menyampaikan pokok pikiran bahwa berdasar aspirasi yang berkembang di bawah nampaknya kecenderungan untuk bisa memiliki Gubernur dan Walikota atau Bupati yang dipilih langsung oleh masyarakat sangat tinggi. Selanjutnya dalam paparannya secara tegas dinyatakan, “oleh karena itu kami mengusulkan apabila kata-kata demokratis ini diganti dengan kata-kata dipilih langsung”.
Fraksi Utusan Golongan (FUG) menyoroti hampir keseluruhan isi perubahan Pasal 18 hasil PAH I BP MPR. Mengenai pemilihan kepala daerah, inti paparannya secara tegas menyatakan: “saya usulkan agar dipilih secara demokratis itu diganti dengan langsung atau bisa kompromi juga dipilih secara demokratis dan langsung”. Kepala Daerah dipilih secara langsung ini menurut FUG juga agar koheren dengan seluruh sistem pemilihan yang juga diusulkan beberapa fraksi, misalnya pemilihan Presiden secara langsung, itu juga diterapkan sampai di tingkat bawah.
Fraksi Reformasi (terdiri dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan). Pembicara lain dari Fraksi Reformasi menggaris bawahi keberatan dengan pencantuman pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Secara tegas ia mengusulkan agar “Pasal 18 Gubernur dan seterusnya dipilih secara langsung”. Selanjutnya juga disampaikan: “karena itu kata demokratis memang seharusnya dihapus karena kita sudah muak dengan penuangan seperti itu. Karena itu pemilihan langsung lebih jelas, karena demokratis itu seringkali tidak jelas”.
Dari penafsiran historis pilkada secara demokratis tidak lain adalah dipilih secara langsung. Dalam amandemen ketiga yang merumuskan Pasal 22E ternyata secara eksplisit pemilu adalah untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan Pasal 18 (4) yang merumuskan dipilih secara demokratis kenyataannya dibiarkan sampai berakhirnya amandemen keempat.
Dengan demikian maka menurut UUD hasil amandemen dipilih secara demokratis yang tepat adalah ditafsir dipilih secara langsung. Namun berdasarkan pertimbangan sosiologis yaitu bersandar kepada kondisi masyarakat, perkembangan politik, pertimbangan kepentingan yang lebioh besar sosiologis juga bisa dijadikan tafsir hukum. Tetapi penggunaan ini sudah terlepas dari sistemik dan historis perumusan ketentuan (pasal) yang bersangkutan, karena hanya melihat perkembangan sosiologis masyarakat. Karena itu ide-ide kepala daerah dikembalikan dipilih DPRD merupakan tafsir sosiologis, bukan logika konsistensi hukum dan bukan berdasar sejarah maksud dirumuskannya ketentuan itu. Bila memang mau taat konstitusi, kepala daerah dipilih langsung seharusnya menjadi pilihan. Sistem ini adalah konstitusional dalam arti memiliki landasan dan argumen konstitusi yang kuat.


Argumentasi Konstitusional
Pertama, konstitusi Indonesia UUD 1945 menentukan bahwa bentuk Negara yang dianut Indonesia adalah Republik [vide Pasal 1 ayat (1)]. Sebagai konsekuensi sebuah Negara yang berbentuk Republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat [vide Pasal 1 ayat (2)]. Implikasinya adalah pengisian jabatan politik-kenegaraan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu [vide Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E]. Kendatipun dalam Pasal 18 ayat (4) ditentukan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis, maka kata “demokratis” di sini harus dimaknai bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Dalam hal ini, sekali lagi, sebagai konsekuensi bentuk Negara Republik, kedaulatan di tangan rakyat, maka rakyatlah yang berhak menentukan kepala daerahnya.
Kedua, konstitusi Indonesia UUD 1945 menganut sistem pemerintahan Presidensil [vide Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7]. Salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah Presiden (pejabat eksekutif) dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih, yang membedakan dengan sistem parlementer di mana pimpinan eksekutif dipilih oleh parlemen berdasarkan perolehan kursi mayoritas di parlemen. Dalam sistem parlemen sekali pemilu mendapatkan dua hasil yaitu perolehan kursi parlemen, dan sekaligus pemenang dalam parlemen berhak menempati jabatan pada pimpinan eksekutif. Untuk menegaskan dan menjaga konsistensi sistem pemerintahan Presidensil, maka dalam pengisian jabatan kepala daerah sebagai pemimpin pemerintah daerah sudah seharusnya dilakukan melalui pemilu secara langsung, bukan oleh parlemen (DPRD).
Argumentasi Politik
Pertama, pemilu untuk memilih kepala daerah secara langsung merupakan sarana membangun basis legitimasi bagi kepala daerah. Mengingat bahwa anggota DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (apalagi formula pemilihan anggota DPRD kini ditentukan dengan perolehan suara terbanyak), untuk mengimbangi basis legitimasi DPRD maka sudah seharusnya basis legitimasi kepala daerah juga dibangun lewat pemilu.
Kedua, berjalannya pemerintahan daerah diperlukan stabilitas politik. Untuk menjaga stabilitas politik ini diperlukan kesimbangan kekuatan politik antara kepala daerah dan DPRD. Dalam hal kepala daerah dipilih oleh DPRD, sebagai konsekuensinya adalah DPRD akan diberikan wewenang untuk meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan kepala daerah sebelum habis masa jabatannya. Padahal sebagai salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah adanya masa jabatan tertentu (lima tahun) [fix term vide Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) dan (2)], dan bila kepala daerah dipilih dan diberhentikan oleh DPRD dikhawatirkan akan terjerumus kepada ketidakstabilan politik dan mengarah kepada sistem parlementer. Pengalaman sepanjang berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 membuktikan hal ini. Untuk menghindari konflik politik antara kepala daerah dan DPRD yang berkepanjangan, dan untuk menjaga kestabilan politik pemerintahan daerah, maka sudah seharusnya kepala daerah dipilih secara langsung.
Ketiga, dalam hal pengisian jabatan Gubernur sebagai kepala daerah provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi, selain akan potensial menimbulkan konflik sebagaimana pada argumen kedua, juga akan menimbulkan problem basis legitimasi Gubernur di hadapan Bupati/Walikota jika Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat pemilu. Dalam rangka menjalankan tugas untuk mengkoordinir Bupati/Walikota, maka Gubernur harus memiliki legitimasi politik yang kuat.
Keempat, dalam hal Gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat-pemilih lewat pemilu, dan tidak juga dipilih oleh DPRD, melainkan ditunjuk/diangkat oleh Presiden, maka terdapat problem konstitusional. Problem tersebut adalah daerah provinsi merupakan daerah otonom, bukan daerah administratif, di mana daerah otonom memiliki wewenang mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam memilih kepala daerah, bukan ditunjuk/diangkat. Bila pengisian jabatan Gubernur melalui ditunjuk/diangkat, problem konstitusional harus diatasi terlebih dahulu yaitu mengubah status provinsi bukan lagi sebagai daerah otonom.
Terhadap gagasan mempertahankan pilkada langsung melalui pemilu tidak lepas dari kritik. Terdapat tiga kritik yang sering diajukan, yaitu berkaitan dengan mahalnya biaya pemilukada, masih maraknya politik uang dan konflik kekerasan yang mewarnai pemilukada.
Terhadap kritik sejumlah kritik tersebut, Ramlan Surbakti memberikan jawaban.[4] Pertama, berkaitan dengan pemilukada mahal. Efisiensi dalam pembiayaan penyelenggaraan pemilukada dapat diwujudkan melalui pemilu lokal serentak. Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal, jam, dan TPS yang sama dengan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Penghematan ini tidak saja terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga dalam sektor pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu lokal.
Pemilu lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena kampanye akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk pemilu anggota DPRD dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pengeluaran kampanye yang paling besar selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai bentuk kampanye yang sah berdasarkan UU, melainkan untuk ”sewa perahu” agar dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih secara langsung ataupun melalui perantara.
Kedua, berkaitan dengan petahana cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye pribadi. Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua modus yang digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana bantuan sosial dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan mengenai hal ini tidak sepenuhnya terletak pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan perundang-undangan lainnya.
Asumsi yang hendaknya dipegang bukan ”manusia pada dasarnya baik” sehingga tidak perlu diatur, melainkan ”apa pun latar belakangnya, manusia itu dapat berbuat baik tetapi dapat pula berbuat buruk”. Karena itu diperlukan pengaturan untuk mendorong kecenderungan baik dan mencegah kecenderungan buruk. Pelaksanaan demokrasi harus berpedoman pada hukum. Pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan alokasi anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana.
Ketiga, kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan pemilukada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena kekerasan di beberapa daerah. Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya kesenjangan antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat saluran yang memadai dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan. Partai politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal (mereka terpilih melalui pemilu untuk mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan adalah partai politik merasa tidak bersalah setiap kali terjadi kekerasan politik di daerah. Kedua, pemilu merupakan konflik yang dilembagakan. Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang berupaya keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.
Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan konflik. Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan calon terpilih, tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa kekerasan. Satu atau lebih aspek pelembagaan ini yang mungkin belum efektif mencegah kekerasan. Pengajuan gugatan terhadap hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi hendaklah dilihat sebagai kesediaan masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu secara beradab (hukum), bukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat diartikan sebagai kelemahan, tetapi suatu fenomena positif.
Posisi Wakil Kepala Daerah[5]
Kedudukan wakil kepala daerah mendapat sorotan karena beberapa hal. Pertama, posisi wakil kepala daerah dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugas dan wewenang, sehingga terkesan tumpang tindih dengan tugas dan wewenang kepala daerah. Penilaian ini biasanya didasarkan kepada praktek yang terjadi di mana wakil kepala daerah menjalankan “tugas sisa” yang tidak dilakukan oleh kepala daerah dan biasanya tugas itu adalah tugas yang “remeh-temeh”. Hal ini yang kemudian mendasari dilakukannya revisi UU No. 32 Tahun 2004 menjadi UU No. 12 Tahun 2008 terutama berkaitan dengan penegasan tugas dan wewenang wakil kepala daerah.
Kedua, dalam praktek dipertanyakan soal mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah, yaitu apakah masih perlu dipertahankan mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah satu paket pasangan dengan kepala daerah yang kemudian dipilih langsung lewat pemilu, atau wakil kepala daerah cukup diisi dengan cara penunjukkan yang berasal dari PNS senior setelah kepala daerah terpilih lewat pemilu?
Berkaitan dengan masalah pertama, kedudukan wakil kepala daerah masih diperlukan. Hal ini mengingat bahwa urusan pemerintah daerah cukup banyak dan cukup berat. Harap diingat dalam konteks daerah otonom, hampir semua urusan pemerintahan didesentralisasikan ke daerah kecuali urusan-urusan tertentu (pertahanan, keamanan, luar negeri, agama, dan keuangan fiskal dan moneter). Dengan demikian nampaknya masih diperlukan jabatan wakil kepala daerah dalam rangka membantu tugas kepala daerah dalam menjalankan urusan pemerintah daerah.
Dengan demikian, apabila jabatan wakil kepala daerah masih dipertahankan, maka yang diperlukan adalah penegasan kembali soal pembagian tugas dan wewenang antara kepala dan wakil kepala daerah. Kendatipun wakil kepala daerah hanya “membantu” dan keputusan tetap berada di tangan kepala daerah, namun untuk menghindari tumpang tindih pembagian tugas dan wewenang, tetap diperlukan pengaturan tugas dan wewenang di antara mereka dan pengaturan itu berada di tingkat undang-undang.
Berkaitan dengan masalah kedua, tentang mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah masih tetap melalui pemilu dalam satu paket pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hanya saja mekanisme pencalonannya saja yang diubah, yaitu yang dipilih dalam mekanisme internal partai politik hanya calon kepala daerah saja, dan calon wakil kepala daerah dipilih sendiri oleh calon kepala daerah.
Selama ini pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah dipilih melalui mekanisme internal partai politik, dengan pola yang hampir sama di semua daerah, yaitu calon kepala daerah bisa jadi berasal dari kalangan eksternal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya ekonomi yang kuat), dan calon wakil kepala daerah berasal dari internal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya politik yang kuat). Kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama, bila komunikasi politik di antara mereka tidak berjalan baik (retak), maka kemudian di antara mereka jalan sendiri-sendiri, di sinilah letak persoalannya.
Dengan asumsi untuk membangun pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang stabil, maka ke depan calon kepala daerah yang terpilih lewat mekanisme internal partai politik kemudian dipersilahkan memilih calon wakilnya sendiri alias tidak dipilihkan partai politik, sehingga loyalitas wakil kepala daerah hanya kepada kepala daerah dan bukan kepada partai politik. Selanjutnya pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah itu diajukan dalam pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.
Formula pasangan calon seperti ini selain dengan tujuan untuk membangun stabilitas pasangan selama menjabat, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pada saat terjadi kondisi darurat di mana kepala daerah tidak dapat melanjutkan tugas sebagai kepala daerah, akan digantikan oleh wakil kepala daerah yang sama-sama memiliki basis legitimasi kuat yaitu sama-sama dipilih dalam pemilu.
Apabila wakil kepala daerah akan ditunjuk dan berasal dari kalangan PNS senior, akan menimbulkan sejumlah masalah. Tentu saja masalah pertama berkaitan dengan basis legitimasi politik yang berbeda dengan kepala daerah yang dipilih langsung dalam pemilu. Demikian juga bila terjadi kondisi darurat, wakil kepala daerah model ini akan mengahadapi masalah basis legitimasi.
Selain itu, bila wakil kepala daerah berasal dari jajaran PNS akan menghadapi masalah dengan kedudukan Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga seorang PNS senior. Model ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dalam kaitannya dengan tumpang tindih pelaksanaan birokrasi sehari-hari. Demikian juga pada akhirnya kepala daerah yang merupakan jabatan politik akan serasa “dikepung” oleh kalangan PNS senior di jajaran birokrasi pemerintahan daerah.
Oleh karena beberapa hal tersebut, diusulkan agar pasangan kepala dan wakil kepala daerah masih tetap dipilih melalui pemilu dalam satu paket pasangan. Bahkan untuk merealisasikan visi, misi dan program kerjanya, pasangan kepala dan wakil kepala daerah diperbolehkan membawa/merekrut sejumlah orang yang sejak awal terlibat membantu menyusun visi, misi dan program kerja untuk memastikan bahwa program kerjanya dapat dijalankan (political appointee).
Bandingkan dengan pasangan presiden dan wakil presiden yang dapat merekrut para pembantunya (menteri dan staf khusus) dalam jumlah yang besar untuk mensukseskan visi, misi dan program kerjanya. Harap diingat bahwa program pembangunan jangka pendek lima tahunan adalah perwujudan dari visi, misi dan program kerja yang telah dikampanyekan dalam pemilu. Hal ini berbeda dengan kepala dan wakil kepala daerah pada saat menduduki jabatannya hanya mereka berdua, dan selainnya adalah aparat birokrasi pemerintahan daerah yang secara politik biasanya memiliki “visi, misi dan program kerja” sendiri yang tidak jarang berbeda dengan kepala dan wakil kepala daerahnya.
Penutup: Pelembagaan Politik
Berdasarkan argumentasi historis pembentukan konstitusi, konstitusional dan politik tersebut, dalam rangka revisi UU Pilkada diajukan 3 rekomendasi berikut.
Pertama, pengisian jabatan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) berdasarkan argumentasi konstitusional dan politik sebagaimana diuraikan di atas, harus tetap dipertahankan dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu.
Kedua, diperlukan penataan pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu.[6] Pelembagaan waktu pemilu ini adalah menata pemilu menjadi dua jenis pemilu, yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada waktu yang bersamaan (dalam satu pemungutan suara ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden). Pemilu secara bersamaan waktu ini dimaksudkan untuk memperkuat stabilitas politik, terutama relasi politik antara DPR dan Presiden, karena bangunan koalisi politik akan dibangun sejak dini, bukan koalisi sesaat setelah pemilu legislatif. Pada waktu berikutnya (2 atau 2,5 tahun berikutnya) diselenggarakan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) dan sekaligus memilih Gubernur dan Bupati/Walikota. Pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu yang demikian ini, selain untuk membangun stabilitas politik, dan untuk meredam masyarakat agar tidak terfragmentasi secara terus-menerus, juga dalam rangka efisiensi biaya pemilu.
Ketiga, karena partai politik sebagai aktor utama dalam pengisian jabatan politik-kenegaraan, maka sudah saatnya partai politik didorong untuk segera merevitalisasi diri dan mengoptimalkan perannya, terutama dalam pendidikan politik, rekrutmen politik dan artikulasi kepentingan politik rakyat. Salah satu agenda utama demokratisasi Indonesia adalah mendemokratiskan partai politik. ©
Daftar Pustaka
Hasyim Asy’ari, “Mempertahankan Pilkada Langsung”, Harian Kompas, 24 Maret 2011.
Hasyim, Asy’ari, “Posisi Wakil Kepala Daerah”, makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis, 4 April 2013.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi).
Ramlan Surbakti, 2013, “Kepala Daerah Harus Lewat Pemilu”, Harian Kompas, 24 Juni 2013.
Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy’ari, 2011, Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Seri Demokrasi Elektoral Buku 2, (Jakarta: Partnership-Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia).

Monday, June 16, 2014

TINJAUAN SILA KE-4 PANCASILA “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”


 
BAB I
PENDAHULUAN

   A.   Latar Belakang
Sistem keadilan dan demokrasi yang berlaku di Indonesia selalu mengacu dan berbasis kepada Pancasila dan didukung oleh UUD 1945. Pancasila pun menjadi sebuah landasan dalam penentuan prinsip dan pandangan hidup. Namun dewasa ini semakin banyak penyimpangan nilai – nilai Pancasila berdasarkan butir – butir yang terkandung di dalamnya. Namun nilai tersebut serasa hilang jika dibandingkan dengan kehidupan Bangsa pada zaman ini. Penyimpangan pun sudah dianggap hal yang biasa dilakukan, dianggap sebagai sesuatu yang ‘bisa dilanggar’ menjadi ‘biasa dilanggar’.
Dalam sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perwakilan”, terkandung butir – butir nilai antara lain (1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. (2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. (3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. (4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. (5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. (6) Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. (7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. (8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. (9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. (10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan. Namun butir nilai yang terkandung dalam sila tersebut semakin hilang dan tersamarkan artinya. Contoh kecil adalah semakin berkurangnya sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai Negara Indonesia, kita menganut sistem Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.
  
   B.      Perumusan Masalah
Dalam makalah ini kami mengangkat masalah yang berkaitan dengan butir nilai sila ke-4  yaitu tentang pro-kontra Pemilihan Umum Presiden. Masalah yang akan kita bahas adalah mengenai “Ketidaksesuaian Pemilihan Umum Presiden dengan Kandungan Nilai Pancasila”.
   C.     Tujuan
Mengetahui dan meninjau sejauh mana sila ke-4 Pancasila dapat berlaku pada kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

Tinjauan Masalah
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sudah semakin tergeser dari fungsi dan kedudukannya dalam era demokrasi ini. Sebuah sila dari Pancasila yang hampir tidak diterapkan lagi dalam demokratisasi di Indonesia yaitu Sila ke-4 Pancasila berbunyi ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Penggalan kata dari sila ke-4 yaitu :
Kerakyatan disini adalah rakyat Indonesia itu sendiri, Hikmat kebijaksanaan adalah sebuah lembaga perwakilan kerakyatan (dalam hal ini DPD,DPRD, DPR) yang mempunyai kewenangan dan kebijaksanaan dan berperan sebagai wakil rakyat. Sedangkan permusyawaratan perwakilan adalah sebuah musyawarah sampai menemui kata mufakat.
Hal ini terlihat jelas pada pelaksaan pemilu yang berbeda jauh dari pelaksanaan pemilu pada saat Orde Baru. Pemilu saat ini, baik pemilihan Caleg, Bupati, Gubernur, bahkan sampai tingkatan Presiden semua warga negara Indonesia diberi hak sepenuhanya untuk ikut memilih. Padahal dalam sila ke-4 Pancasila jelas- jelas disebutkan bahwa Kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Namun, dalam kenyataannya, pelaksanaan pemilu (permusyawaratan perwakilan) dalam pelaksaan demokrasi di Indonesia ini, semua rakyat ikut serta dalam pemilihan tersebut. Hal ini ada baiknya, ada buruknya pula. Baiknya yaitu kita bisa belajar menghargai pendapat orang lain. Namun buruknya adalah yang menjadi pemenang bukan dilihat dari kualitas, tetapi menang karena kuantitas. Hal ini disebabkan karena pemilih kebanyakan adalah rakyat biasa, dan jika dilihat dari rata- rata pendidikan di Indonesia yang mencapai pendidikan tingkat menengah saja kurang dari 30% dari total seluruh penduduk Indonesia, dan mereka yang ikut memilih belum tentu mengerti dan paham kinerja dan prestasi calon yang akan ditarungkan pada pemilu tersebut. Karena hal inilah mengapa dalam Pancasila (sila ke-4) sudah diatur bahwa yang berhak memilih hanyalah wakil- wakil rakyat yang mempunyai kebijakan (DPD, DPRD, DPR), pendidikan dan pemahaman tentang calon - calon yang akan dipilih yang lebih tinggi dan luas dari kebanyakan rakyat di Indonesia,para wakil - wakil rakyat tentunya akan memilih calon berdasarkan kualitas dan berusaha memilih yang terbaik untuk rakyatnya. Bayangkan jika misal lebih dari 80% penduduk Indonesia yang berpendidikan rendah dan belum paham betul siapa dan bagaimana karakteristik calon yang akan dipilih, mereka semua diberi hak untuk memilih, tentu saja mereka tidak akan memilih berdasarkan kualitas, mereka akan memilih karena ajakan teman atau tetangga, memilih calon yang telah mengadakan kampanye di daerahnya dan membagi - bagikan banyak uang agar dipilih. Hal ini sangat menyedihkan karena bisa saja jika sudah terpilih nanti, calon tadi tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, malah bisa saja melakukan korupsi dan kejelekan- kejelekan lain yang bisa menjatuhkan namanya atau bahkan institusinya bahkan partai yang mengusungnya. Memang dalam pemilihan caleg DPD, DPRD, dan DPR rakyat harus ikut memilih tetapi dalam pemilihan bupati, gubernur dan presiden, yang berhak memilih hanyalah wakil-wakil rakyat saja (sesuai dengan sila ke-4). Namun dalam pelaksanaannya, baik memilih bupati, gubernur, maupun presiden semua rakyat Indonesia saat ini diberi hak untuk memilih. Mungkin saja, Indonesia meniru sistem politik Amerika. Namun dalam hal ini Amerika sendiri sudah sejak berabad- abad yang lalu menerapkan demokrasi dan jelas bahwa demokrasi di Amerika sudah tertata rapih dibanding Indonesia. Tidak usah kita bandingkan antara pemilu Amerika dan Indonesia. Kita sudah banyak melihat pemilihan bupati dan gubernur di berbagai daerah di Indonesia, hampir semuanya diwarnai kericuhan karena tidak terima calon bupati atau gubernurnya kalah dalam pemilu, para massa yang mendukung pasti akan mengadakan demonstasi, bahkan seringkali merusak kantor yang menangani perhitungan suara pemilu. Hal ini tidak akan terjadi apabila dalam pemilihan bupati atau gubernur diwakilkan oleh wakil rakyat saja (DPD dan DPRD, DPR jika pemilihan presiden) Tidak hanya pemilu saat ini saja yang telah jauh dari pancasila. UUD 1945 yang diamandemen dengan seenaknya dan sudah berjalan beberapa kalipun termasuk dalam penyimpangan Pancasila. Bagaimana negara ini akan maju, jika dasar negara yang telah dibuat oleh para pendiri negara kita tidak kita hiraukan lagi.

Dampak Permasalahan
            Berdasarkan masalah – masalah yang telah diuraikan diatas, setiap opsi baik sistem pemilihan secara langsung maupun pemilihan perwakilan pada akhirnya memiliki nilai tambah dan kurang masing – masingnya. Pemilihan secara langsung akan menjadikan presiden sebagai seorang yang tunggal kekuasaannya tanpa pengaruh pihak manapun. Atau dapat disebut sebagai sistem pemerintahan presidensial. Berikut adalah dampak negatif dari sistem pemerintahan presidensial :
1.       Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.
2.       Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.
3.       Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan presiden.
4.       Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan orang – orang yang dekat presiden.
5.       Menciptakan perilaku KKN.
6.       Terjadi personifikasi bahwa presiden dianggap Negara.
7.       Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden
Sedangkan dampak positifnya adalah :
1.       Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
2.       Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.
3.       Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.
4.       Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.
Dilihat dari sistem pemilihannya, maka opsi lain yaitu pemilihan oleh badan parlemen seperti MPR/DPR termasuk kedalam sistem parlementer. Sistem parlementer adalah sistem pemerintahan dimana badan parlemen memiliki kekuasaan lebih tinggi dibandingkan presiden. Pada sistem pemerintahan ini, presiden menjadi “pelaksana komando” yang dicanangkan oleh parlemen. Berikut ini adalah ciri – ciri sistem parlementer :
1.       Badan legislative atau parlemen adalah satu satunya badan yang anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
2.       Anggota parlemen terdiri atas orang- orang dari partai politik aygn memenangkan pemilihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
3.       Pemerintah atau kabinet terdiri atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksanakan kekuasaan eksekutif. Dalam system ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana meteri sebagai kepala pemerintahan.
4.       Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu - waktu perlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
5.       Kepala Negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden/sultan/raja
6.       Sebagai pengimbangnya, parlemen dapat menjatuhkan kabinet. Kepala Negara dapat membubarkan parlemen. Dengan demikian, presiden/ raja atas saran perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk memebentuk parlemen baru.

Sedangkan kelebihan dan kelemahan sistem parlementer antara lain adalah :
Kelebihan
·         Pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat karena terjadi menyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini disebabkan kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
·         Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
·         Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap cabinet sehingga cabinet menjadi berhati – hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan
·         Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu- waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
·         Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu- waktu kabinet dapat bubar.
·         Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar di parlemen dan partai, anggota cabinet dapat menguasai parlemen.
·         Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan - jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

Kenyataan
Berdasarkan pemilu yang telah dilakukan oleh beberapa daerah ataupun wilayah di Indonesia yang hasil dari pemilihan tersebut akan dijadikan sebagai calon legislatif yang akan memimpin daerah tersebut. Pemilihan kepala daerah yang dilaksanankan di Indonesia sangatlah demokratis jika dilihat dari proses pemilihannya semua penduduk akan memiliki hak pilih masing-masing untuk memilih calon pemimpin yang mereka jagokan. Akan tetapi melalui proses pemilihan yang demokratis tersebut mulai muncullah kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para calon pemimpin daerah tersebut.
Tindak kecurangan yang pertama adalah money politic yang sangat sering kita dengarkan setiap kali diadakannya pemilu. Kecurangan ini dilakukan dengan cara memberikan sejumlah uang yang nantinya akan diberikan kepada penduduk yang memiliki hak pilih. Sehingga para penduduk tersebut akan tergiur oleh uang yang diberikan dari calon legislatif tersebut dan penduduk langsung memberikan hak suaranya kepada calon legislatif walaupun model kepemimpinan dari calon tersebut sangatlah jelek dan kurang memihak kepada rakyatnya.
Tindak kecurangan yang kedua ialah pemilih yang memiliki hak suara ganda. Model kecurangan yang satu ini merupakan model kecurangan yang baru keluar pada pemilu yang terakhir ini. Praktek dari kecurangan ini adalah pada seorang pemilih mendapatkan kartu identitas pemilih double sehingga dia memiliki hak pilih sebanyak dua kali. Proses dari pembuatan kartu hak pillih ini didasarkan atas dasar pendataan yang dilakukan oleh para ketua RT yang mendata waranya yan telah mencapai kriteria sebagai pemilih yang sah. Kemudian data yang diperoleh tersebut akan diserahkan kepada kantor desa dan dilanjutkan lagi kepada Komisi Pemilihan Umum(KPU) bagian kota/kabupaten yang akan diserahkan kepada KPU pusat untuk melakukan proses pendataan ulang yang nantinya akan membuat kartu sebagai bukti memperoleh hak pilih pada saat pemilu. Entah pada proses yang mana telah terjadi kesalahalan pendataan terhadah para calon hak pilih sehingga banyak pemilih yang memiliki hak pilih yang ganda. Efeknya dari kepemilikan hak pilih ganda tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertangung jawab untuk memperoleh suara yang sebanyak-banyaknya agar mereka berhasil menjadi pemimpin daerah tersebut.
Tindak kecurangan yang ketiga adalah adanya kesalahan terhadap pendataan warga yang memilki hak pilih, misalnya warga yang sudah meninggal dunia masuk dalam data warga yang memiliki hak pilih dan ada juga seorang bayi yang baru lahir sekitar dua bulan juga telah terdata sebagai warga yang memiliki hak pilih yang sah. Dari data yang salah tersebut dimanfaatkan oleh para calon legislatif untuk mendapatkan suara dengan menggunakan nama pemilik suara tetapi orang yang akan memilih tersebut bukanlah orang yang tercantum dalam kartu pemilih. Orang tersebut adalah orang suruhan dari anggota calon legislatif untuk memperoleh suara yang lebih banyak
Tindak kecurangan yang selanjutnya adalah kertas suara yang telah dimasukkan didalam kotak suara seharusnya dikunci dengan gembok kemudian dilakukan penyegelan pada gembok tersebut. Akan tetapi hal ini terjadi lain pada suatu daerah yang menyelenggarakan pemilu, pada daerah tersebut tidak melakukan penyegelan pada gembok yang digunakan untuk mengunci kotak suara. Sehingga ada beberapa oknum dari anggota calon legislatif dapat dengan leluasa untuk merubah suara yang telah dipilih oleh para warga. Dengan penggantian tersebut mereka dapat merusak suara yang diberikan kepada musuh mereka dan menggantinya dengan suara yang dapat menambah suara untuk calon legislatifnya sendiri.

Penyelesaian
Melihat kenyataan dan fakta yang telah dipaparkan sebelumnya, diketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang sama sekali belum siap apabila seluruh sistem pemerintahannya hanya dipercayakan kepada ‘Wakil – wakil Rakyat’nya, walaupun hal tersebut dapat dilihat sebagai penyimpangan dari nilai Pancasila.
Maka jika kita lihat dari beberapa hal yang telah kita bahas, terdapat dua jenis pemilihan yang selalu menjadi pro-kontra di Negara Indonesia ini, yaitu pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung. Yang mana pemilihan langsung berdasar demokrasi langsung yaitu proses demokrasi bersih, disini rakyat diberi kebebasan secara mutlak untuk memberikan pendapatnya. Sedangkan pemilihan tidak langsung berdasar demokrasi perwakilan yaitu demokrasi yang dilakukan oleh Wakil Rakyat yang sebelumnya telah dipilih dan diambil dari rakyat. Dua pemilihan tersebut merupakan jenis demokrasi yang masih tercakup dengan luas dalam demokrasi Pancasila, namun saat ini Indonesia menggunakan sistem demokrasi langsung. Dimana hasil keputusan rakyat menjadikan suatu hal yang mutlak, seperti pada prinsip demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Setelah kita mengetahui sisi positif dan negatif dari tiap opsi pemilihan, kita dapat membuat suatu penyelesaian atas masalah yang tidak kunjung selesai ini. Pertama, dilihat dari sudut pandang Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup Bangsa Indonesia, hal ini tentu sangat tidak sesuai dengan apa yang tertulis pada sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan”, kata “dipimpin” memiliki arti yaitu “diwakili” atau “ditentukan”, ketika disambungkan dengan kata  “hikmat kebijaksanaan” memiliki arti “suatu badan yang menentukan kebijakan”, dan kata terakhir “permusyawaratan perwakilan” yang memiliki arti “musyawarah bersama yang dilakukan oleh perwakilan rakyat – rakyat”. Sehingga jika kata – kata tersebut disambungkan makna dan artinya, sila ke-4 mempunyai makna bahwa sistem kerakyatan dipimpin oleh suatu badan yang menentukan dan memegang kebijakan yang telah dipilih sebagai perwakilan rakyat serta melakukan musyawarah bersama dalam  menentukan keputusan. Namun pada kenyataannya di Negara ini, kepercayaan tidak dapat diberikan secara penuh kepada para petinggi perwakilan rakyatnya. Meskipun sebelumnya para wakil rakyat telah dipilih oleh rakyat, nyatanya masih banyak terdapat money politics dalam pelaksanaan pemilihan umum yang membuat hanya sedikit para-wakil-rakyat yang benar – benar mewakili suara rakyat dengan duduk di antara petinggi Negara. Apabila money politics-lah yang memilih petinggi Negara, maka bukan tidak mungkin apabila dalam penentuan keputusan pemilihan Pemimpin Negara (Presiden) yang dilakukan dengan musyawarah malah terlibat hal yang sama (money politics). Bahkan perilaku petinggi yang seharusnya menjadi pegangan rakyat dalam menentukan keputusan malah semakin menjadi – jadi seperti yang telah banyak diberitakan pada media massa. Berbeda jika dibandingkan dengan jaman kemerdekaan dulu dimana pemilihan presiden Soekarno dan wakil presiden Moch.Hatta dilakukan dengan cara musyawarah oleh para petinggi rakyat dan pejuang, dikarenakan tujuan pemilihan mereka hanya satu pada waktu itu, yaitu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, tanpa ada niat terselubung lainnya, bagaimana jika sekarang? Perebutan tahta petinggi selalu dibumbui dengan angan – angan kekuasaan luas dan harta melimpah. Jadi dapat kita simpulkan, apabila dengan keadaan Negara Indonesia yang seperti ini terus menerus maka sistem demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi musyawarah pun tidak dapat dilakukan.
Jika ditinjau dari sudut pandang demokrasi pun hal ini juga tidak dapat disalahkan secara utuh dan menyeluruh. Sistem demokrasi seperti ini mempunyai beberapa kelebihan yang telah kita paparkan sebelumnya yang tidak dimiliki oleh sistem perwakilan. Dalam sisi positifnya, sistem demokrasi dapat melibatkan seluruh komponen Negara dalam penentuan keputusan, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tetapi seharusnya jika rakyat yang memilih para petinggi – petinggi tersebut, mereka lah yang seharusnya bertanggungjawab kepada rakyat. Sebagaimana presiden menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPR/MPR, hal yang serupa pun harus dialami oleh rakyat sebagai pemilihnya. Presiden maupun petinggi lainnya harus menyampaikan pertanggungjawabannya secara langsung kepada rakyat, mengingat pemilihan mereka juga secara langsung dilakukan oleh rakyat. Sehingga jika kita tarik kesimpulan, Indonesia Negara yang menjunjung tinggi keadilan demokrasi seharusnya bisa lebih meninjau sejauh mana demokrasi tersebut dapat berjalan. Namun dilihat dari keadaan Negara saat ini, walaupun sistem demokrasi telah berjalan lama, masih terdapat beberapa bagian yang harus diperbaiki dan ditinjau ulang, Indonesia harus jauh lebih mempersiapkan diri baik internal maupun eksternal untuk menjalankan sistem demokrasi dalam pemerintahannya.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari pemaparan yang telah kita bahas diatas, terlihat dari berbagai sudut pandang bahwa segala opsi pemilihan mempunyai kekurangan dan kelebihan.
·         Dari sudut pandang pemilihan tidak langsung (musyawarah parlemen), tidak dimungkinkan untuk mempercayakan segala macam keputusan kepada perwakilan rakyat dengan keadaan Negara yang krisis kepercayaan seperti ini, namun semua harus tetap berlandaskan Pancasila sebagai dasar Negara.
·         Dari sudut pandang pemilihan secara langsung (demokrasi), Indonesia bukanlah Negara Demokratis penuh seperti Negara – Negara Barat yang menganut demokratisme, karena itu masih dibutuhkan musyawarah antar golongan dan pihak dalam menentukan keputusan.

Soluvsi
Maka menurut kami, yang seharusnya dibenahi dalam sistem pemilihan umum Indonesia adalah dengan melibatkan seluruh komponen Negara dalam penentuan keputusan, baik rakyat, badan parlemen, maupun pihak lain, namun pembenahan tersebut tidak menyimpang dari sila ke-4 Pancasila tentang permusyawaratan, sehingga dengan jalannya 2 sistem tersebut tidak ada hal yang bertentangan antara Pancasila dan Demokratisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Ali,  As’ad Said.2009.Negara Pancasila : Jalan Kemaslahatan Berbangsa.Jakarta. : Pustaka LP3ES Indonesia
     Anonim.2011.Penyimpangan Demokrasi Pancasila.http://www.selamatkan-indonesiaku.net. : 26 April 2011
     Anonim.2011.Demokrasi Pancasila.http://www.id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_Pancasila : 26 April 2011
         Notonagoro.1974.Pancasila Dasar Falsafah Negara.Jakarta : Pantjuran Tujuh
       Soekarno.2001.Pancasila Sebagai Dasar Negara.Jakarta : Gunung Agung. (Diterbitkan pertama oleh Departemen Penerangan pada 1958)
         Wahyudi, Agus.2006.Ideologi Pancasila.Depok. Fisip UI Press