BENI EKA PUTRA,S.H. SEORANG PEMUDA ASLI MINANG KABAU BERKARIR DIDUNIA PRAKTISI HUKUM

Wednesday, September 24, 2014

MEMPERRTAHANKAN PEMILIHAN KEPALA DAN WAKIL KEPADALA DAERAH LANGSUNG

Tulisan ini saya sampaikan dalam blog ini, dikarenakan melihat persoalan persoalan politik praktis yang terlalu direkayasa oleh para politikus yang ada diindonesia. ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Bapak Hasyim Asahari, karena tulisan ini banyak mengutip pendapat beliau.
 
Pengantar
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sedang dibahas Pemerintah dengan DPR, dan sudah menjelang akhir. Salah satu perdebatan yang menonjol adalah pilkada akan diubah yang semula Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat pemilu, menjadi Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi dan Bupati/Walikota tetap dipilih lewat pemilu.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah Pilkada dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung? Pilkada langsung di sini dimaksudkan bahwa pengisian jabatan kepala daerah dilakukan melalui suatu pemilihan umum (pemilu) atau dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Pilkada tidak langsung nampaknya dimaknai bahwa kepala daerah dipilih tidak secara langsung oleh rakyat-pemilih, namun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), atau ditunjuk (diangkat) oleh pejabat di atasnya.
Tulisan ini hendak mengkaji beberapa model pengisian jabatan kepala daerah, dan diikuti dengan rekomendasi model pengisian jabatan kepala daerah ke depan. Tulisan mengarah kepada gagasan untuk mempertahankan pilkada langsung atau pemilihan kepala daerah melalui pemilu (pemilukada).
Model Pilkada
Pengalaman di Indonesia selama ini menunjukkan setidaknya terdapat lima model pengisian jabatan kepala daerah. Model pertama, kepala daerah dipilih secara tidak langsung, melainkan hanya ditunjuk/diangkat oleh pejabat di atasnya. Pengalaman ini terdapat pada daerah-daerah administratif bukan daerah otonom. Walikota di Jakarta menduduki jabatannya karena diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta (vide Pasal 19 UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta).
Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat (vide Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini DPRD memilih beberapa calon kepala daerah, selanjutnya diajukan kepada pejabat pemerintah di atasnya untuk dipilih salah satunya sebagai kepala daerah (Mendagri untuk memilih Bupati/Walikota, dan Presiden untuk memilih Gubernur).
Model ketiga, kepala daerah dipilih secara tidak langsung (vide Pasal 34 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Model keempat, kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Dalam model ini adalah pilkada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu dengan cara “penetapan” oleh DPRD dan “pengesahan” oleh Presiden (vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 24 ayat (3, 4, 5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta).
Model kelima, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Pada model ini pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan, dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.
Argumentasi Mempertahankan Pilkada Langsung[1]
Berdasarkan beberapa model tersebut, pengisian kepala daerah ke depan sebaiknya tetap mempertahankan model kelima, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu. Pilihan model ini didasarkan pada argumentasi sejarah pembentukan konstitusi (amandemen UUD 1945), argumentasi konstitusional, dan argumentasi politik. Argumentasi ini didasarkan kepada metode penafsiran dalam Hukum Tata Negara (HTN).[2]
Argumentasi Historis Pembentukan Konstitusi


UUD setelah dilakukan amandemen di dalamnya telah dilembagakan Pemilu bagi anggota lembaga perwakilan maupun pemimpin pemerintahan, penyelesaian sengketa hasil Pemilu, dan lembaga penyelenggara Pemilu. Namun pengaturannya meninggalkan persoalan baru di bidang ketatanegaraan, yaitu berkenaan dengan pengaturan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dipilih melalui Pemilu (Pasal 22E ayat 2), sedangkan untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota (Kepala Daerah) dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4).
Mengapa ada dua istilah “dipilih melalui Pemilu” dan “dipilih secara demokratis”. Apakah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara demokratis merupakan bagian Pemilu?. Dalam UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara materiil Pilkada adalah kegiatan Pemilu karena mekanisme dan tata cara mengadopsi Pemilu seperti yang diatur dalam undang-undang pemilu (waktu itu UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres). Tetapi secara formil Pilkada berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 bukan Pemilu sebagaimana dimaksud pelembagaan Pemilu dalam UUD 1945 karena menempatkan Pilkada bagian dari kegiatan pemerintah dengan menugaskan pelaksanaannya kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tanpa keterlibatan atau peranserta KPU. Padahal KPUD adalah jajaran vertikal KPU. Dengan pengaturan seperti ini Pilkada bukan termasuk kategori Pemilu karena tidak diselenggarakan oleh KPU yang memiliki sifat nasional seperti dimaksud UUD 1945, namun tatacara dan mekanismenya mengadopsi Pemilu legislatif dan Pilpres. Akibat dari tumpang tindihnya pengaturan seperti ini, pengaturan Pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan Indonesia tidak memiliki standar pemilu yang bersifat nasional dan selanjutnya gagal melembagakan sistem Pemilu sebagaimana dimaksud UUD 1945. Kerumitan ini diselesaikan dengan keputusan MK yang tidak lagi menempatkan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (kini diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu) yang menempatkan pilkada sebagai bagian dari Pemilu.
Problematik yang dihadapi sekarang dengan Pemilukada adalah berbagai macam mengenai ketidak efisienan, pemborosan anggaran, dan konflik. Wacana diskusi berkembang mulai dari dikembalikan lagi dipilih DPRD untuk gubernur sedangkan bupati/walikota tetap melalui pemilu. Penggunaan istilah “dipilih secara demokratis” menimbulkan multi tafsir. Di dalam ilmu perundang-undangan dan ilmu HTN ada yang dinamakan tafsir hukum apabila teks sebuah peraturan menimbulkan multi tafsir, maka dapat dilakukan penafsiran hukum, antara lain gramatikal, sistemik, dan historis.
Kalau dilihat dari sisi gramatikal, istilah demokratis membingungkan mekanisme apa yang diterapkan. Demokratis hanya sebuah proses, tetapi siapa yang memilih ini menjadi persoalan. Sistemik adalah menafsir dengan logika konstruksi misalnya asas-asasnya dan konsistensi dengan pengaturan yang lain. Dari sisi sistemik ini, dalam pasal yang sama dan amandemen tahun yang sama mengapa dirumuskan DPRD dipilih melalui Pemilu sedangkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Sedangkan pada amandemen berikutnya Presiden dipilih secara langsung. Dalam sistem pelembagaan pemilu seharusnya ada konsistensi pemilihan. Oleh sebab itu dari sisi sistemik kepala daerah mestinya ditafsir dipilih melalui pemilu langsung. Saat itu tidak langsung dirumuskan dipilih melalui pemilu langsung karena belum tahu apakah nantinya presiden akan dipilih langsung, dan juga memberi keluwesan karena ada kepala daerah yang tidak dipilih berdasarkan undang-undang keistimewaan, yaitu Yogyakarta.
Dari segi historis, yaitu melihat dari sejarah perumusan atau pembentukan ketentuan itu. Dari risalah sidang dapat diketahui maksud perumusan demokratis.[1][3]
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Pertama kali istilah Kepala Daerah dipilih secara demokratis disampaikan oleh FPDIP pada sidang PAH I BP MPR yang membahas rumusan Bab VI pada tangal 29 Mei 2000. Pada initinya FPDIP mengemukakan bahwa selama ini pemerintah belum melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 sebagaimana mestinya. Pemerintahan dijalankan secara sentralistik dengan tekanan dan paksaan. Pemilihan Kepala Daerah pada semua tingkatan dilakukan dengan penuh rekayasa dan hanya mengedepankan tokoh-tokoh formal dan mengabaikan tokoh informal. Untuk mencegah agar tidak terulang praktek-praktek tekanan dan paksaan, FPDIP mengusulkan agar dicantumkan secara eksplisit dengan rumusan: “Daerah Otonomi mempunyai Kepala Pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang”. Jelas sekali yang dimaksud dipilih secara demokratis menurut FPDIP pada sidang PAH I BP MPR di atas adalah untuk mengakiri praktek pemilihan kepala daerah yang selama itu banyak dilakukan dengan cara rekayasa dan praktek tekanan serta paksaan pemerintah terhadap mekanisme demokrasi untuk memilih kepala daerah yang sedang berjalan. Rumusan dipilih secara demokratis usulan PDIP bukan substansi yang mengarah kepada kepala daerah dipilih secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD. Namun ditekankan pada perbaikan praktek yang harus dilaksanakan dengan cara demokratis.
Fraksi Partai Golkar (FPG). Otonomi sebagai ruang bagi kedaulatan rakyat daerah dalam pengertian komunitas politik memiliki makna mendalam, yaitu bahwa demokrasi lokal dibutuhkan dalam rangka membangun otonomi daerah yang kokoh. FPG mengemukakan bahwa konsep otonomi daerah yang memberikan kekuatan kepada desentralisasi, tidak akan memenuhi sasarannya tanpa didukung pelibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, diantaranya adalah melalui pemilihan kepada daerah secara langsung.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP). Pengalaman praktek yang semuanya diatur oleh pemerintah pusat sehingga terdapat ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan oleh daerah. Berdasarkan pokok pikiran itu, FPPP mengusulkan tujuh item perubahan Pasal 18, yang salah satunya pada item ketujuh yaitu mengusulkan agar “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang secara langsung oleh rakyat yang selanjutnya diatur dalam undang-undang, hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk Presiden juga dipilih secara langsung”. Kemudian dalam tanggapan akhir antar fraksi sebelum memasuki tahap lobi-lobi, FPPP kembali mengemukakan dengan tegas pada item keempatnya bahwa “karena Presiden itu dipilih secara langsung maka pada pemerintahan daerahpun gubernur, bupati, dan walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-undang dan tata caranya nanti diatur dalam undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah”. Dengan demikian menurut pikiran FPPP yang dimaksud “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih secara langsung sebagaimana tata cara yang dilakukan untuk memilih Presiden.
Fraksi Persatuan Daulat Ummah (FPDU yaitu gabungan dari Partai Nahdlatul Ummah, Partai Kebangkitan Umat, Partai Politik Islam Masyumi, Partai Daulat Rakyat, dan Partai Syarikat Islam Indonesia). Di sisi lain pengaturan pemerintahan daerah cenderung melakukan penyeragaman, padahal dalam penjelasan Pasal 18 founding fathers menyatakan dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dan sebagainya. Karena itu FPDU berpendapat bahwa Pasal 18 tidak dapat lagi mengatur secara keseluruhan pemerintahan daerah apalagi menata hubungan daerah dan pusat. Selanjutnya FPDU mengusulkan perubahan Pasal 18 yang berisi delapan item, antara lain pada item kedua “Setiap daerah otonom memiliki DPRD yang dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu” dan item keempat “Setiap daerah memiliki kepala pemerintahan daerah atau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat”. Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat yang diusulkan FPDU harusnya dipahami sebagaimana FPDU merumuskan anggota DPRD yang juga dipilih oleh rakyat melalui pemilu, dengan demikian kepala daerah dipilih oleh rakyat adalah dipilih melalui pemilu.
Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesa (FKKI yaitu gabungan dari PKP, PDI, PNI Massa Marhaen, Partai Bhinneka Tunggal Ika, dan PNI Front Marhaenis). Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus dilakukan dengan kesepakatan bersama. Selama ini kita terjebak pada paradigma pusat dan daerah yang mempertentangkan pusat dan daerah. Selanjutnya untuk menjamin hak-hak rakyat di daerah, FKKI mengusulkan perubahan Pasal 18 yang antara lain berisi “berkenaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang langsung, maka kami mengusulkan pula Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota juga dipilih secara langsung”. Dengan demikian redaksi dipilih secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) menurut FKKI harus diartikan bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung sebagaimana dimaksud pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung.
Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB dari Partai Kebangkitan Bangsa), pada intinya menyampaikan pokok pikiran bahwa berdasar aspirasi yang berkembang di bawah nampaknya kecenderungan untuk bisa memiliki Gubernur dan Walikota atau Bupati yang dipilih langsung oleh masyarakat sangat tinggi. Selanjutnya dalam paparannya secara tegas dinyatakan, “oleh karena itu kami mengusulkan apabila kata-kata demokratis ini diganti dengan kata-kata dipilih langsung”.
Fraksi Utusan Golongan (FUG) menyoroti hampir keseluruhan isi perubahan Pasal 18 hasil PAH I BP MPR. Mengenai pemilihan kepala daerah, inti paparannya secara tegas menyatakan: “saya usulkan agar dipilih secara demokratis itu diganti dengan langsung atau bisa kompromi juga dipilih secara demokratis dan langsung”. Kepala Daerah dipilih secara langsung ini menurut FUG juga agar koheren dengan seluruh sistem pemilihan yang juga diusulkan beberapa fraksi, misalnya pemilihan Presiden secara langsung, itu juga diterapkan sampai di tingkat bawah.
Fraksi Reformasi (terdiri dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan). Pembicara lain dari Fraksi Reformasi menggaris bawahi keberatan dengan pencantuman pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Secara tegas ia mengusulkan agar “Pasal 18 Gubernur dan seterusnya dipilih secara langsung”. Selanjutnya juga disampaikan: “karena itu kata demokratis memang seharusnya dihapus karena kita sudah muak dengan penuangan seperti itu. Karena itu pemilihan langsung lebih jelas, karena demokratis itu seringkali tidak jelas”.
Dari penafsiran historis pilkada secara demokratis tidak lain adalah dipilih secara langsung. Dalam amandemen ketiga yang merumuskan Pasal 22E ternyata secara eksplisit pemilu adalah untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan Pasal 18 (4) yang merumuskan dipilih secara demokratis kenyataannya dibiarkan sampai berakhirnya amandemen keempat.
Dengan demikian maka menurut UUD hasil amandemen dipilih secara demokratis yang tepat adalah ditafsir dipilih secara langsung. Namun berdasarkan pertimbangan sosiologis yaitu bersandar kepada kondisi masyarakat, perkembangan politik, pertimbangan kepentingan yang lebioh besar sosiologis juga bisa dijadikan tafsir hukum. Tetapi penggunaan ini sudah terlepas dari sistemik dan historis perumusan ketentuan (pasal) yang bersangkutan, karena hanya melihat perkembangan sosiologis masyarakat. Karena itu ide-ide kepala daerah dikembalikan dipilih DPRD merupakan tafsir sosiologis, bukan logika konsistensi hukum dan bukan berdasar sejarah maksud dirumuskannya ketentuan itu. Bila memang mau taat konstitusi, kepala daerah dipilih langsung seharusnya menjadi pilihan. Sistem ini adalah konstitusional dalam arti memiliki landasan dan argumen konstitusi yang kuat.


Argumentasi Konstitusional
Pertama, konstitusi Indonesia UUD 1945 menentukan bahwa bentuk Negara yang dianut Indonesia adalah Republik [vide Pasal 1 ayat (1)]. Sebagai konsekuensi sebuah Negara yang berbentuk Republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat [vide Pasal 1 ayat (2)]. Implikasinya adalah pengisian jabatan politik-kenegaraan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu [vide Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E]. Kendatipun dalam Pasal 18 ayat (4) ditentukan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis, maka kata “demokratis” di sini harus dimaknai bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Dalam hal ini, sekali lagi, sebagai konsekuensi bentuk Negara Republik, kedaulatan di tangan rakyat, maka rakyatlah yang berhak menentukan kepala daerahnya.
Kedua, konstitusi Indonesia UUD 1945 menganut sistem pemerintahan Presidensil [vide Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7]. Salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah Presiden (pejabat eksekutif) dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih, yang membedakan dengan sistem parlementer di mana pimpinan eksekutif dipilih oleh parlemen berdasarkan perolehan kursi mayoritas di parlemen. Dalam sistem parlemen sekali pemilu mendapatkan dua hasil yaitu perolehan kursi parlemen, dan sekaligus pemenang dalam parlemen berhak menempati jabatan pada pimpinan eksekutif. Untuk menegaskan dan menjaga konsistensi sistem pemerintahan Presidensil, maka dalam pengisian jabatan kepala daerah sebagai pemimpin pemerintah daerah sudah seharusnya dilakukan melalui pemilu secara langsung, bukan oleh parlemen (DPRD).
Argumentasi Politik
Pertama, pemilu untuk memilih kepala daerah secara langsung merupakan sarana membangun basis legitimasi bagi kepala daerah. Mengingat bahwa anggota DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (apalagi formula pemilihan anggota DPRD kini ditentukan dengan perolehan suara terbanyak), untuk mengimbangi basis legitimasi DPRD maka sudah seharusnya basis legitimasi kepala daerah juga dibangun lewat pemilu.
Kedua, berjalannya pemerintahan daerah diperlukan stabilitas politik. Untuk menjaga stabilitas politik ini diperlukan kesimbangan kekuatan politik antara kepala daerah dan DPRD. Dalam hal kepala daerah dipilih oleh DPRD, sebagai konsekuensinya adalah DPRD akan diberikan wewenang untuk meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan kepala daerah sebelum habis masa jabatannya. Padahal sebagai salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah adanya masa jabatan tertentu (lima tahun) [fix term vide Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) dan (2)], dan bila kepala daerah dipilih dan diberhentikan oleh DPRD dikhawatirkan akan terjerumus kepada ketidakstabilan politik dan mengarah kepada sistem parlementer. Pengalaman sepanjang berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 membuktikan hal ini. Untuk menghindari konflik politik antara kepala daerah dan DPRD yang berkepanjangan, dan untuk menjaga kestabilan politik pemerintahan daerah, maka sudah seharusnya kepala daerah dipilih secara langsung.
Ketiga, dalam hal pengisian jabatan Gubernur sebagai kepala daerah provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi, selain akan potensial menimbulkan konflik sebagaimana pada argumen kedua, juga akan menimbulkan problem basis legitimasi Gubernur di hadapan Bupati/Walikota jika Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat pemilu. Dalam rangka menjalankan tugas untuk mengkoordinir Bupati/Walikota, maka Gubernur harus memiliki legitimasi politik yang kuat.
Keempat, dalam hal Gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat-pemilih lewat pemilu, dan tidak juga dipilih oleh DPRD, melainkan ditunjuk/diangkat oleh Presiden, maka terdapat problem konstitusional. Problem tersebut adalah daerah provinsi merupakan daerah otonom, bukan daerah administratif, di mana daerah otonom memiliki wewenang mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam memilih kepala daerah, bukan ditunjuk/diangkat. Bila pengisian jabatan Gubernur melalui ditunjuk/diangkat, problem konstitusional harus diatasi terlebih dahulu yaitu mengubah status provinsi bukan lagi sebagai daerah otonom.
Terhadap gagasan mempertahankan pilkada langsung melalui pemilu tidak lepas dari kritik. Terdapat tiga kritik yang sering diajukan, yaitu berkaitan dengan mahalnya biaya pemilukada, masih maraknya politik uang dan konflik kekerasan yang mewarnai pemilukada.
Terhadap kritik sejumlah kritik tersebut, Ramlan Surbakti memberikan jawaban.[4] Pertama, berkaitan dengan pemilukada mahal. Efisiensi dalam pembiayaan penyelenggaraan pemilukada dapat diwujudkan melalui pemilu lokal serentak. Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal, jam, dan TPS yang sama dengan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Penghematan ini tidak saja terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga dalam sektor pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu lokal.
Pemilu lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena kampanye akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk pemilu anggota DPRD dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pengeluaran kampanye yang paling besar selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai bentuk kampanye yang sah berdasarkan UU, melainkan untuk ”sewa perahu” agar dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih secara langsung ataupun melalui perantara.
Kedua, berkaitan dengan petahana cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye pribadi. Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua modus yang digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana bantuan sosial dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan mengenai hal ini tidak sepenuhnya terletak pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan perundang-undangan lainnya.
Asumsi yang hendaknya dipegang bukan ”manusia pada dasarnya baik” sehingga tidak perlu diatur, melainkan ”apa pun latar belakangnya, manusia itu dapat berbuat baik tetapi dapat pula berbuat buruk”. Karena itu diperlukan pengaturan untuk mendorong kecenderungan baik dan mencegah kecenderungan buruk. Pelaksanaan demokrasi harus berpedoman pada hukum. Pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan alokasi anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana.
Ketiga, kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan pemilukada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena kekerasan di beberapa daerah. Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya kesenjangan antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat saluran yang memadai dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan. Partai politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal (mereka terpilih melalui pemilu untuk mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan adalah partai politik merasa tidak bersalah setiap kali terjadi kekerasan politik di daerah. Kedua, pemilu merupakan konflik yang dilembagakan. Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang berupaya keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.
Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan konflik. Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan calon terpilih, tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa kekerasan. Satu atau lebih aspek pelembagaan ini yang mungkin belum efektif mencegah kekerasan. Pengajuan gugatan terhadap hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi hendaklah dilihat sebagai kesediaan masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu secara beradab (hukum), bukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat diartikan sebagai kelemahan, tetapi suatu fenomena positif.
Posisi Wakil Kepala Daerah[5]
Kedudukan wakil kepala daerah mendapat sorotan karena beberapa hal. Pertama, posisi wakil kepala daerah dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugas dan wewenang, sehingga terkesan tumpang tindih dengan tugas dan wewenang kepala daerah. Penilaian ini biasanya didasarkan kepada praktek yang terjadi di mana wakil kepala daerah menjalankan “tugas sisa” yang tidak dilakukan oleh kepala daerah dan biasanya tugas itu adalah tugas yang “remeh-temeh”. Hal ini yang kemudian mendasari dilakukannya revisi UU No. 32 Tahun 2004 menjadi UU No. 12 Tahun 2008 terutama berkaitan dengan penegasan tugas dan wewenang wakil kepala daerah.
Kedua, dalam praktek dipertanyakan soal mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah, yaitu apakah masih perlu dipertahankan mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah satu paket pasangan dengan kepala daerah yang kemudian dipilih langsung lewat pemilu, atau wakil kepala daerah cukup diisi dengan cara penunjukkan yang berasal dari PNS senior setelah kepala daerah terpilih lewat pemilu?
Berkaitan dengan masalah pertama, kedudukan wakil kepala daerah masih diperlukan. Hal ini mengingat bahwa urusan pemerintah daerah cukup banyak dan cukup berat. Harap diingat dalam konteks daerah otonom, hampir semua urusan pemerintahan didesentralisasikan ke daerah kecuali urusan-urusan tertentu (pertahanan, keamanan, luar negeri, agama, dan keuangan fiskal dan moneter). Dengan demikian nampaknya masih diperlukan jabatan wakil kepala daerah dalam rangka membantu tugas kepala daerah dalam menjalankan urusan pemerintah daerah.
Dengan demikian, apabila jabatan wakil kepala daerah masih dipertahankan, maka yang diperlukan adalah penegasan kembali soal pembagian tugas dan wewenang antara kepala dan wakil kepala daerah. Kendatipun wakil kepala daerah hanya “membantu” dan keputusan tetap berada di tangan kepala daerah, namun untuk menghindari tumpang tindih pembagian tugas dan wewenang, tetap diperlukan pengaturan tugas dan wewenang di antara mereka dan pengaturan itu berada di tingkat undang-undang.
Berkaitan dengan masalah kedua, tentang mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah masih tetap melalui pemilu dalam satu paket pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hanya saja mekanisme pencalonannya saja yang diubah, yaitu yang dipilih dalam mekanisme internal partai politik hanya calon kepala daerah saja, dan calon wakil kepala daerah dipilih sendiri oleh calon kepala daerah.
Selama ini pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah dipilih melalui mekanisme internal partai politik, dengan pola yang hampir sama di semua daerah, yaitu calon kepala daerah bisa jadi berasal dari kalangan eksternal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya ekonomi yang kuat), dan calon wakil kepala daerah berasal dari internal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya politik yang kuat). Kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama, bila komunikasi politik di antara mereka tidak berjalan baik (retak), maka kemudian di antara mereka jalan sendiri-sendiri, di sinilah letak persoalannya.
Dengan asumsi untuk membangun pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang stabil, maka ke depan calon kepala daerah yang terpilih lewat mekanisme internal partai politik kemudian dipersilahkan memilih calon wakilnya sendiri alias tidak dipilihkan partai politik, sehingga loyalitas wakil kepala daerah hanya kepada kepala daerah dan bukan kepada partai politik. Selanjutnya pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah itu diajukan dalam pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.
Formula pasangan calon seperti ini selain dengan tujuan untuk membangun stabilitas pasangan selama menjabat, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pada saat terjadi kondisi darurat di mana kepala daerah tidak dapat melanjutkan tugas sebagai kepala daerah, akan digantikan oleh wakil kepala daerah yang sama-sama memiliki basis legitimasi kuat yaitu sama-sama dipilih dalam pemilu.
Apabila wakil kepala daerah akan ditunjuk dan berasal dari kalangan PNS senior, akan menimbulkan sejumlah masalah. Tentu saja masalah pertama berkaitan dengan basis legitimasi politik yang berbeda dengan kepala daerah yang dipilih langsung dalam pemilu. Demikian juga bila terjadi kondisi darurat, wakil kepala daerah model ini akan mengahadapi masalah basis legitimasi.
Selain itu, bila wakil kepala daerah berasal dari jajaran PNS akan menghadapi masalah dengan kedudukan Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga seorang PNS senior. Model ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dalam kaitannya dengan tumpang tindih pelaksanaan birokrasi sehari-hari. Demikian juga pada akhirnya kepala daerah yang merupakan jabatan politik akan serasa “dikepung” oleh kalangan PNS senior di jajaran birokrasi pemerintahan daerah.
Oleh karena beberapa hal tersebut, diusulkan agar pasangan kepala dan wakil kepala daerah masih tetap dipilih melalui pemilu dalam satu paket pasangan. Bahkan untuk merealisasikan visi, misi dan program kerjanya, pasangan kepala dan wakil kepala daerah diperbolehkan membawa/merekrut sejumlah orang yang sejak awal terlibat membantu menyusun visi, misi dan program kerja untuk memastikan bahwa program kerjanya dapat dijalankan (political appointee).
Bandingkan dengan pasangan presiden dan wakil presiden yang dapat merekrut para pembantunya (menteri dan staf khusus) dalam jumlah yang besar untuk mensukseskan visi, misi dan program kerjanya. Harap diingat bahwa program pembangunan jangka pendek lima tahunan adalah perwujudan dari visi, misi dan program kerja yang telah dikampanyekan dalam pemilu. Hal ini berbeda dengan kepala dan wakil kepala daerah pada saat menduduki jabatannya hanya mereka berdua, dan selainnya adalah aparat birokrasi pemerintahan daerah yang secara politik biasanya memiliki “visi, misi dan program kerja” sendiri yang tidak jarang berbeda dengan kepala dan wakil kepala daerahnya.
Penutup: Pelembagaan Politik
Berdasarkan argumentasi historis pembentukan konstitusi, konstitusional dan politik tersebut, dalam rangka revisi UU Pilkada diajukan 3 rekomendasi berikut.
Pertama, pengisian jabatan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) berdasarkan argumentasi konstitusional dan politik sebagaimana diuraikan di atas, harus tetap dipertahankan dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu.
Kedua, diperlukan penataan pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu.[6] Pelembagaan waktu pemilu ini adalah menata pemilu menjadi dua jenis pemilu, yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada waktu yang bersamaan (dalam satu pemungutan suara ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden). Pemilu secara bersamaan waktu ini dimaksudkan untuk memperkuat stabilitas politik, terutama relasi politik antara DPR dan Presiden, karena bangunan koalisi politik akan dibangun sejak dini, bukan koalisi sesaat setelah pemilu legislatif. Pada waktu berikutnya (2 atau 2,5 tahun berikutnya) diselenggarakan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) dan sekaligus memilih Gubernur dan Bupati/Walikota. Pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu yang demikian ini, selain untuk membangun stabilitas politik, dan untuk meredam masyarakat agar tidak terfragmentasi secara terus-menerus, juga dalam rangka efisiensi biaya pemilu.
Ketiga, karena partai politik sebagai aktor utama dalam pengisian jabatan politik-kenegaraan, maka sudah saatnya partai politik didorong untuk segera merevitalisasi diri dan mengoptimalkan perannya, terutama dalam pendidikan politik, rekrutmen politik dan artikulasi kepentingan politik rakyat. Salah satu agenda utama demokratisasi Indonesia adalah mendemokratiskan partai politik. ©
Daftar Pustaka
Hasyim Asy’ari, “Mempertahankan Pilkada Langsung”, Harian Kompas, 24 Maret 2011.
Hasyim, Asy’ari, “Posisi Wakil Kepala Daerah”, makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis, 4 April 2013.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi).
Ramlan Surbakti, 2013, “Kepala Daerah Harus Lewat Pemilu”, Harian Kompas, 24 Juni 2013.
Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy’ari, 2011, Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Seri Demokrasi Elektoral Buku 2, (Jakarta: Partnership-Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia).

No comments:

Post a Comment