- Pemeliharaan hutan, hak ulayat dan penetapan kawasan hutan lindung :
a.
Pasal 3 UU No. 5 tahun 1960 yang berbunyi sebagai berikut
: “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum
ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada
kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Tetapi meskipun hak ulayat diberikan kepada suatu
kelompok masyarakat seaakn-akan itu adalah hak miliknya tetapi perlu
dierphatikan Pasal 1 huruf (1) “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.
b. Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1960 “Memelihara tanah, termasuk
menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap
orang, Badan Hukum atau Instansi yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak-pihak ekonomi lemah”.
Dimana tiap-tiap orang dalam hal ini termasuk masyarakat
adat seharusnya memelihara tetapi malah menyewakannya kepada investor asing
untuk di eksploitasi yang justru menyebabkan kerusakan hutan dan kerugian tidak
hanya dalam bidang ekonomi.
c.
Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional”.
d. Pasal 2 PP Nomor 28 tahun 1985, “Kegiatan Perlindungan
Hutan bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat memenuhi fungsinya”.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan segala usaha,
kegiatan dan tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan
hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,
daya alam, hama dan penyakit, serta untuk memprtahankan dan menjaga hak –
hak negara atas hasil hutan.
e.
Menurut UU Nomor 23 tahun 1997, Konservasi Sumber Daya
Alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak dapat diperbaharui untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana dan dapat diperbaharui untuk menjamin
kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai serta keanekaragamannya.
f.
UU Nomor 5 tahun 1990, pengertian tentang Konservasi
sumber daya alam di atas lebih dipersingkat menjadi Pengelolaan sumber daya
alam hayati yang pengelolaannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungn persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya.
g.
Menurut UU No. 41 tahun 1999, “penyelenggaraan
perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan dan
lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi
tercapai secara optimal dan lestari”. Perlindungan hutan dan kawasan hutan
merupakan usaha untuk :
a.
Mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan kawasan hutan
dan hasil hutan yang disebabkan oleh manusia, ternak, kebakaran, daya – daya
alam, hama serta penyakit
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan
perorangan atas hutan, hasil hutan, inventarisasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan.
h. Pasa l 23 UU No. 41 tahun 1999 “Pemanfaatan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat
yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan
tetap menjaga kelestariannya”.
i.
Pasal 40 UU No. 41 tahun 1999 “Rehabilitasi hutan dan
lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga”.
j.
Pasal 43 ayat (1) UU No 41 tahun 1999 “Setiap orang yang
memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak
produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan
konservasi”.
k. Pasal 68 ayat (1) UU No 41 tahun 1999 “Masyarakat berhak
menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan” tetapi dalam Pasal
69 (1) UU No. 41 tahun 1999 “Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta
memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan”
Teori yang Pro
1.
Hak ulayat adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk
adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah
tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan
masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga
merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku. Para
warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan
menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan
keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya
secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat
individual. Dalam pada itu, hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi,
semata-mata, di dasari, bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian
dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya
berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat
akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, maka sifat penguasaan
yang demikian itu pada dirinya mengandung apa yang disebut dengan unsur
kebersamaan. Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu
bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan
bersama, maka dalam rangka hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah
yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pasal 1 huruf 8 UU Nomor
41 tahun 1999 Tentang Kehutanan “Hutan Lindung, yaitu kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai sistem penyangga kehidupan, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah”.
2.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999) dalam Herlin
Nurhidayati (2002 : 1) menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu faktor
penting dalam kehidupan dunia. Oleh karena itu, keberadaan hutan sangat penting
bagi kehidupan baik hutan sebagai hutan produksi, sebagai perlindungan sistem
penyandang kehidupan, sebagai tempat pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, sebagai tempat pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya atau sebagai tempat wisata alam.
3.
Peneliti Masalah-masalah Tanah Hak Ulayat Bismark Sanusi
menyatakan tak dapat dibenarkan, jika di masa kini sesuatu masyarakat hukum
masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak,
seakan-akan ia terlepas dari hubungannya dengan masyarakat hukum dan daerah
lainnya di lingkungan negara kesatuan. "Sikap demikian dalam prakteknya
menghambat usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya
4.
Lahan kritis merupakan suatu lahan yang kondisi tanahnya
telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia atau biologi yang
akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman
dan kehidupan sosial ekonomi di sekitar daerah pengaruhnya. Lahan kritis adalah
lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengatur media pengatur tata air,
unsur produksi pertanian, maupun unsur perlindungan alam dan lingkungannya.
5.
Menurut UU Nomor 41 tahun 1999, Rehabilitasi Hutan dan
Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatan fungsi hutan
dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung
sistem keidupan tetap terjaga. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
diselengaarakan melalui kegiatan Reboisasi, Penghijauan, Pemeliharaan, Pengayan
tanaman, atau Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil
teknis pada lahan kritis da tidak produktif. Menurut Supriyanto (1996 : 1)
Kegiatan reboisasi dan penghijauan pada umunya dilakukan pada tanah kritis dan
areal bekas pembalakan. Kedua kegiatan tersebut memerlukan bibit dalam jumlah
besar dan berkualitas baik.
Fakta yang Pro
Fakta yang menunjukkan
bahwa masalah pencabutan hak ulayat dalam penetapan kawasan hutan lindung:
a.
Kasus PT Freeport Indonesia, PT Newmoon Minahasa, Exen Mobile jelas bertentangan dengan Pasal 33
ayat (3) UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hak ulayat yang
diberikan kepada masyarakat hukum adat malah dipakai oleh pihak asing untuk
kepentingan investor sendiri. Dan dibeberapa kejadian lain bahwa hak ulayat
malah disewakan kepada pihak lain. Memang hak itu bisa dipakai oleh jika dengan
persetujaun oleh masyarakat hukum adat itu sendiri tetapi apabila
disalahgunakan. Tentu hal itu tidak dapat dibiarkan.
b.
Jika klaim hak ulayat warga masyarakat hukum adat
memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala badan Pertanahan
Nasional No 5 Tahun 1999, dan telah dilakukan penelitian sesuai prosedur, maka
pemerintah harus mengakui dan menghormati hak ulayat warga masyarakat hukum
adat tersebut. Peneliti Masalah-masalah Tanah Hak Ulayat Bismark Sanusi
menyatakan berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria, UU No 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tampak jelas
bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, kalau
memang dalam kenyataannya masih ada. Dan bila hak ulayat itu akan
dipergunakan oleh pihak lain, haruslah atas persetujuan masyarakat pemilik hak
ulayat tersebut. Tetapi apabila hak tersebut disalahgunakan maka tentu hak
ulayat tersebut dapat dicabut.
c. Tanah-Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah
kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau
peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat
sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa.
Disinilah sifat religius hubungan
hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya
ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok
di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan,
tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah
bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hal tersebut di atas,
maka sekiranya dapat kami gambarkan bahwasanya hak ulayat dalam masyarakat
hukum adat tersebut selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah-bersama
para anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata, juga mengandung
tugas, kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan
peruntukan dan penggunaannya yang termasuk bidang hukum publik. Hak
bersama dalam masyarakat adat yang merupakan hak ulayat bukan hak milik dalam
arti yuridis, melainkan merupakan hak kepunyaan bersama yang itu adalah
kepentingan bersama.
Kesimpulan
1. Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat
tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya dalam menghapusnya, dalam
artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau
melestarikan eksistensinya. Tetapi apabila hak ulayat yang diberikan telah
disalahgunakan dan telah merugikan negara dan bangsa Indonesia apakah hal
tersebut akan dibiarkan. Negara dalam hal ini demi kepentingan umum maka dapat
mencabut hak ulayat demi kepentingan nasional.
2. Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUUD 1945 “Bumi dan air
dan kekayaan alam uyang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar keakmuran rakyat.”
Apabila hak ulayat yang
diberikan kepada kelompok masyarakat sudah bertentangan dengan konstiusi dan
disalahgunakan. Maka demi kepentingan umum hak ulayat harus dicabut untuk
pelestarian, rehabilitasi dan perlindungan hutan serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya
No comments:
Post a Comment